Rabu, 14 Januari 2015

Konflik kesetaraan Agama

07.12 Posted by adytia maulana No comments
Akhir-akhir ini banyak sekali permasalahan yang dihadapi bangsa, mulai dari konflik sosial, politik, ekonomi dan seringkali bergeser menjadi konflik agama. Konflik-konflik tersebut merupakan potensi ancaman terhadap persatuan dan kesatuan bangsa. Lalu bagaimana kaitanya dengan wawasan kebangsaan. Misalnya, hasil penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta beberapa tahun lalu,menyebutkan, masyarakat Indonesia bisa dikatakan kurang toleran. Sebagaian besar masyarakat Indonesia bisa dikatakan kurang toleran terbukti 67% masyarakat menyatakan kebencian karenanya kurang bersedia hidup berdampingan dengan kelompok sosial-politik dan keagamaan lainya. Begitu pula, 29 % menyatakan selalu percaya pada orang lain, sedangkan mayoritas menyatakan, setiap orang harus berhati-hati terhadap orang lain, jangan mudah percaya (86%). Adapun ciri-ciri dari kemajemukan masyarakat Indonesia adalah : (1) Indonesia adalah negara dengan populasi Islam terbesar di dunia. (2) Indonesia mengakui 6 agama. (3) Indonesia mempunyai ratusan suku. (4) Indonesia bukan hanya Pulau Jawa, Indonesia adalah kepulauan terbesar di dunia.
Kerukunan dibagi dalam 2 istilah. Pertama, demografis dan fakta sosiologis. Pengertianya adalah kenyataan sosial adanya kelompok yang tinggal menetap bersama disebuah negara. Kedua,ideologi dan konsep normatif tentang cara hidup (way of life). Dimana sebuah tatanan sosial ideal berupa lambang dari prinsip keadilan sosial yang mengemukakan tentang hak-hak, nilai, dan kesetaraan kelompok. Sedangkan pengertian kerukunan itu sendiri adalah keadaan dimana hubungan sesama umat beragamayang diandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengalaman ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara didalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang (UUD) tahun 1945. Filosifi kerukunan antar umat meliputi; rasa tanggung jawab pada semua orang, respec (sikap hormat) pada setiap orang, bersikap adil pada siapapun dan memberi manfaat bagi orang lain. Sedangkan tujuan kerukunan itu sendiri meliputi berbagai hal diantaranya; sebagai perekat sosial (social cohesion), Identitas kultural (cultural identity), persamaan kesempatan dan akses, rasa tanggung jawab, komitmen dan partisipasi dalam berbangsa dan bernegara. Masalah-masalah kerukunan antar umat beragama di Indonesia yaitu, belum adanya hubungan antara pemerintah nasional dengan komunitas etnik, konflik etnik bermuara pada konflik etnik lokal dengan etnik pendatang. Juga adanya persaingan sumber-sumber ekonomi, kekuasaan (politik), sosial budaya. Dan akhirnya persoalan ekonomi bergeser menjadi konflik agama.
Revitalisasi Semangat Pancasila Sekarang ini, Tunggal Ika lebih dipentingkan dari pada bhineka, artinya persamaan lebih sering dibahas daripada perbedaan-perbedaan. Hal itu justru akan memunculkan persatuan semu (pseudo-unity). Sehingga perlu penataan ulang pengelolaan keragaman budaya (managin cultural diversity) untuk mencegah disintegrasi. Paham kerukunan sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran Al-Quran dan sunah. Bahkan semua unsur melahirkan paham tersebut, inklusif dalam ajaran Al-Quran, sehingga seorang muslim yang baik pastilah seorang anggota suatu bangsa yang baik. Kalau anggota suatu bangsa terdiri dari beragam agama atau anggota masyarakat terdiri dari berbagai bangsa hendaknya mereka dapat menghayati firman-Nya dalam surat Al-Baqarah ayat 148: “Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblat (arah yang ditujunya), dia mengadap kearah itu. Maka berlomba-lombalah kamu (melakukan) kebaikan. Dimana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian. Sesungguhnya Allah Maha kuasa atas segala sesuatu.
Filsafat adalah pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang yang merupakan konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan. Filsafat juga diartikan sebagai suatu sikap seseorang yang sadar dan dewasa dalam memikirkan segala sesuatu secara mendalam dan ingin melihat dari segi yang luas dan menyeluruh dengan segala hubungan.  
Nasroen (1968, dalam Harafah 2008 : 69) mengemukakan bahwa filsafat yang sejati haruslah berdasarkan pada agama. Apabila filsafat tidak berdasarkan pada agama dan filsafat hanya semata-mata berdasarkan atas akal pikiran saja, maka filsafat tersebut tidak akan memuat kebenaran obyektif, karena yang memberikan penerangan dan putusan adalah akal pikiran.
Kesanggupan akal pikiran terbatas sehingga filsafat yang hanya berdasarkan atas akal pikiran semata-mata akan tidak sanggup member kepuasan bagi manusia, terutama dalam rangka pemahamannya terhadap yang gaib. (Harafah, 2008 : 69)
Indonesia yang bersifat majemuk, baik dari segi agama, etnis, bahasa, budaya, maupun adat istiadat membutuhkan perekat yang kuat agar tidak terancam disintegrasi. Kekuatan perekat itu diletakan atas dasar kerukunan umat beragama sehingga toleransi antar umat beragama menjadi hal yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

1.1   Perkembangan Agama
Agama adalah suatu unsure mengenai pengalaman yang dipandang mempunyai nilai tertinggi, pengabdian terhadap suatu kekuasaan yang dipercaya sebagai sesuatu yang menjadi asal mula yang menambah dan melestarikan nilai-nilai ini dan sejumlah ungkapan yang sesuai tentang urusan serta pengabdian tersebut, baik dengan jalan melakukan upacara yang simbolis maupun melalui perbuatan lain yang bersifat perseorangan ataupun kemasyarakatan.
Jika umat manusia dengan agamanya, kemudian mengembangkannya, itu sudah menjadi fitrah manusia. Sebab semua orang beragama merasa wajib untuk mengembangkan dan menyampaikan keyakinannya kepada siapapun di dunia ini. Di sinilah letaknya sebuah toleransi, siapapun umat beragama bebas untuk mendakwahkan agamanya dan siapapun manusia bebas menerima maupun menolak ajakan itu. Rambu-rambu untuk itu dalam tatanan hidup antarbangsa dan agama telah dimiliki oleh umat dan bangsa sedunia. Sikap toleran akan dapat meminimalkan segala konsekuensi negatif penyebaran agama.
Sesuatu yang menjadi sangat penting dan terpenting adalah tertanamnya suatu sikap bagi seluruh umat beragama, bahwa tujuan dasar beragama adalah tercapainya kebahagiaan (kedamaian) dunia maupun dalam kehidupan setelah dunia, kiranya sesuatu yang sangat esensial ini tidak ternodai oleh perselisihan justru atas nama kesejahteraan dunia akhirat tersebut, hal yang sangat ironis jika hal itu justru yang dikedepankan dalam sikap hidup umat beragama. Sekali lagi sikap toleransi yang dapat mengatasinya.
Kita coba membaca perkembangan umat manusia dengan keagamaannya dewasa ini. Dari data yang dapat dikumpulkan dari “Ensiklopedi Britannica” tahun 2001, tercatat bahwa penduduk dunia yang tersebar di dalam 238 negara di lima benua dan Oceania berjumlah 6.128.512.000 orang. Dari sejumlah ini, pemeluk Agama Kristen (Katolik, Protestan, Ortodoks, Anglikan, Independen, Kristen Marginal dan Kristen yang tidak berafiliasi) berjumlah 2.019.052.000 orang = 32,9% yang tersebar di seluruh negara dunia (238 negara). Muslim, 1.207.148.000 orang (belum termasuk mereka yang pernah menjadi penduduk di bawah pengawasan komunis Uni Soviet Rusia) = 19,7%, terdiri dari 83% Sunni dan 16 % Syi’i serta 1% lain-lain, tersebar di 204 negara di seluruh dunia.
Hindu, 819.689.000 = 13,4 %, tersebar di 114 negara di dunia. Tidak beragama 771.345.000 orang, tersebar di 236 negara dunia = 12,6%. Agama Rakyat Cina, 387.167.000 orang = 6,3 %, tersebar di 99 negara dunia. Buddhists, 361.985.000 orang = 5,9% yang tersebar di 126 negara. Atheist, 150.252.000 orang = 2,5% tersebar di 161 negara. Sedangkan Jews (Yahudi) 14.484.000 orang = 0,2%, tersebar di 134 negara.
Dari catatan perkembangan agama-agama dunia yang ada pada abad ini, agama samawi menduduki tempat teratas, baik Kristen maupun Islam, sedangkan Yahudi persentasenya di bawah 1 %, dan agama-agama ardli menduduki posisi 3 besar dunia. Namun orang-orang yang tidak beragama dan atheis justru lebih besar jumlahnya jika dibandingkan dengan agama Hindu = 15,1 %.

1.2   Toleransi Sebagai Akidah Dalam Beragama
            Pengakuan adanya kekuatan Yang Maha Tinggi, yaitu Tuhan, Allah, God, Yahweh, Elohim, yang disertai ketundukan itu, merupakan fitrah (naluri) yang dimiliki oleh setiap manusia. Kendati demikian, manusia tetap memerlukan adanya pemberi peringatan agar tidak menyeleweng dari fitrahnya, mereka adalah para nabi dan rasul.
Perasaan tunduk kepada Yang Maha Tinggi, yang disebut iman, atau itikad, yang kemudian berdampak pada adanya rasa suka(rughbah), takut (ruhbah), hormat (ta’dzim) dan lain-lain, itulah unsur dasar al-din (agama). Al-din (agama) adalah aturan-aturan atau tata-cara hidup manusia yang dipercayainya bersumber dari Yang Maha Kuasa untuk kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Berbagai agama telah lahir di dunia ini dan membentuk suatu syariat (aturan) yang mengatur kehidupan manusia, yang termaktub di dalam kitab-kitab suci, baik agama samawi (yang bersumber dari wahyu Ilahi) maupun yang terdapat dalam agama ardli (budaya) yang bersumber dari pemikiran manusia. Semua agama-agama, baik samawi maupun ardli, memiliki fungsi dalam kehidupan manusia. Berbagai fungsi tersebut adalah: Pertama, menunjukkan manusia kepada kebenaran sejati; Kedua, menunjukkan manusia kepada kebahagiaan hakiki. Ketiga, mengatur kehidupan manusia dalam kehidupan bersama.
Dari hakikat dan fungsi agama seperti yang disebutkan itu, maka pemeluk agama-agama yang ada di dunia ini, telah memiliki strategi, metode dan teknik pelaksanaannya masing-masing, yang sudah barang tentu dan sangat boleh jadi terdapat berbagai perbedaan antara satu dengan lainnya. Karenanya, umat manusia dalam menjalankan agamanya, sang Pencipta agama telah berpesan dengan sangat, “Kiranya umat manusia tidak terjebak dalam perpecahan tatkala menjalankan agama masing-masing, apalagi perpecahan itu justru bermotivasikan keagamaan”
Pengamalan toleransi harus menjadi suatu kesadaran pribadi dan kelompok yang selalu dihabitualisasikan dalam wujud interaksi sosial. Toleran maknanya, bersifat atau bersikap menghargai, membiarkan pendirian, pendapat pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan lain-lain yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.
Toleransi/toleran dalam pengertian seperti itu terkadang menjadi sesuatu yang sangat berat bagi pribadi-pribadi yang belum menyadarinya. Padahal perkara tersebut bukan mengakibatkan kerugian pribadi, bahkan sebaliknya akan membawa makna besar dalam kehidupan bersama dalam segala bidang, apalagi dalam domain kehidupan beragama. Toleran dalam kehidupan beragama menjadi sangat mutlak adanya, dengan eksisnya berbagai agama samawi maupun agama ardli dalam kehidupan umat manusia ini.
Dalam kaitan ini Tuhan telah mengingatkan kepada umat manusia dengan pesan yang bersifat universal, dalam Q.S. 42 A. 13: “Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama, apa yang telah diwasiatkan kepada Nuh, dan apa yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang telah diwahyukan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah-belah dalam urusan agama.” Pesan lainnya terkandung dalam Q.S. 3 A. 103: “Dan berpegang teguhlah kamu kepada agama Allah dan janganlah kamu bercerai-berai.”
Pesan universal ini merupakan pesan kepada segenap umat manusia tidak terkecuali, yang intinya dalam menjalankan agama harus menjauhi perpecahan antarumat beragama maupun sesama umat beragama. Pesan dari langit ini menghendaki umat manusia itu memeluk dan menegakkan agama, karena Tuhan sang Pencipta alam semesta ini telah menciptakan agama-agama untuk umat manusia, kehendak-Nya hanyalah jangan berpecah-belah dalam beragama maupun atas nama agama.
Tegakkanlah agama dan jangan berpecah belah dalam beragama, merupakan standar normatif Ilahiyah, sebagai patokan baku untuk pembimbingan perilaku umat manusia dalam beragama. Standar yang bersifat universalistik ini bermakna ruang lingkupnya berlaku di mana pun dan kapan pun. Yakni umat beragama dalam berinteraksi antar agama wajib mengutamakan standar universal ini. Tegakkan agama dan jangan berpecah belah dalam beragama. Perintah ini juga merupakan standar yang bersifat partikularistik, yang ruang lingkupnya berlaku bagi kelompok pemeluk agama tertentu di tempat mereka berada. Dalam menjalankan agama hendaknya menjauhi perpecahan sesama agama, terlebih perpecahan itu dibungkus oleh orientasi motivasional maupun orientasi nilai keagamaan.
Tindakan manusia beragama itu selalu memiliki orientasi, berarti selalu diarahkan kepada tujuan. Ada dua elemen penting dalam orientasi tindakan manusia termasuk tindakan manusia dalam beragama yaitu orientasi motivasional dan orientasi nilai. Orientasi motivasional adalah yang berhubungan dengan keinginan individu yang bertindak itu untuk memperbesar kepuasan dan mengurangi kekecewaan, atau dalam makna lain, motivasi untuk memperbesar kepuasan jangka panjang dan jangka pendek.
Sedangkan elemen lainnya adalah orientasi nilai. Orientasi ini menunjuk kepada standar-standar normatif yang mempengaruhi dan mengendalikan pilihan-pilihan individu terhadap tujuan yang dicapai dan alat yang dipergunakan untuk mencapai tujuan itu.  Walhasil, kebebasan individu dalam bertindak, dibatasi oleh standar-standar normatif yang ada dalam masyarakat, baik yang bersifat Ilahiyah maupun budaya. Segala norma-norma itu bukan berarti mengeliminir kebebasan manusia dalam beragama, justru menawarkan berbagai alternatif dalam bertindak, bermakna juga bahwa manusia itu dalam beragama mempunyai kebebasan penuh yang dibatasi oleh kebebasan yang dimiliki orang selainnya.
Umat beragama dalam interaksi sosialnya mempunyai kebebasan dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas pemeluknya. Interaksi seperti ini sudah barang pasti berkonsekuensi, minimal saling singgung. Sebab strategi, metoda dan teknik interaksi masing-masing agama dan para pemeluknya bahkan dalam kalangan suatu agama dan para pemeluknya, sangat mungkin terjadi perbedaan baik secara prinsip maupun nonprinsip. Ini bermakna, dapat kita lihat bahwa individu-individu itu dalam beragama memungkinkan dapat menggunakan agama sebagai kekuatan yang mempersatukan dan sebaliknya juga dapat menggunakannya sebagai pencerai-beraian, yang mengakibatkan timbulnya konflik.

1.3  Toleransi Sebagai Nilai dan Norma
Toleransi dalam pengertian yang telah disampaikan, yang merupakan keyakinan pokok (akidah) dalam beragama, dapat kita jadikan sebagai nilai dan norma. Kita katakan sebagai nilai karena toleransi merupakan gambaran mengenai apa yang kita inginkan, yang pantas, yang berharga, yang dapat mempengaruhi perilaku sosial dari orang yang memiliki nilai itu. Dan nilai (toleransi) akan sangat mempengaruhi kebudayaan dan masyarakat. Demikian juga toleransi, dapat kita jadikan suatu norma, yaitu suatu patokan perilaku dalam suatu kelompok tertentu. Norma memungkinkan seseorang menentukan terlebih dahulu bagaimana tindakannya itu akan dinilai orang lain untuk mendukung atau menolak perilaku seseorang.
 Karena toleransi sudah kita jadikan nilai dan norma, dan juga menyangkut sifat dan sikap untuk menghargai pendirian, pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan dan kelakuan, dan lain-lain yang berbeda bahkan bertentangan dengan pendirian sendiri, maka sifat dan sikap sebagai nilai dan norma itu mesti disosialisasikan. Maknanya, ialah proses memelajari norma, nilai, peran, dan semua persyaratan lainnya yang diperlukan untuk memungkinkan partisipasi yang efektif dalam kehidupan sosial.
 Sifat dan sikap toleran ini perlu disosialisasikan, agar setiap individu mampu mengamalkan dalam kehidupan nyata di masyarakat luas. Dalam lingkungan keluarga, kehidupan yang toleran harus disosialisasikan sejak dini terhadap anggota keluarga (anak-anak). Dan inilah yang menjadi sosialisasi dasar dalam kehidupan umat manusia, yang dari padanya dikembangkan sosialisasi lebih lanjut sebagai follow-up.
Berinteraksi dengan jiwa toleran dalam setiap bentuk aktivitas, tidak harus membuang prinsip hidup (beragama) yang kita yakini. Kehidupan yang toleran justru akan menguatkan prinsip hidup (keagamaan) yang kita yakini. Segalanya menjadi jelas dan tegas tatkala kita meletakkan sikap mengerti dan memahami terhadap apapun yang nyata berbeda dengan prinsip yang kita yakini. Kita bebas dengan keyakinan kita, sedangkan pihak yang berbeda (yang memusuhi sekalipun) kita bebaskan terhadap sikap dan keyakinannya.
Dialog disertai deklarasi tegas dan sikap toleran telah dicontohkan oleh Rasulullah dalam Q.S. 109: “Wahai orang yang berbeda prinsip (yang menentang). Aku tidak akan mengabdi kepada apa yang menjadi pengabdianmu. Dan kamu juga tidak harus mengabdi kepada apa yang menjadi pengabdianku. Dan sekali-kali aku tidak akan menjadi pengabdi pengabdianmu. Juga kamu tidak mungkin mengabdi di pengabdianku. Agamamu untukmu. Dan agamaku untukku.”
Prinsip yang telah dibela oleh Rasulullah sangat jelas, dengan sentuhan deklarasi yang tegas. Sedangkan prinsip yang harus dipegang oleh mereka yang berbeda (penentangnya) juga dijelaskan dengan tegas. Namun diiringi dengan sikap toleransi yang sangat tinggi: Kamu pada prinsipmu dan aku pada prinsipku. Yakni sepakat untuk berbeda. Sikap tegas penuh toleran, tanpa meninggalkan prinsip seperti itu dilaksanakan pada saat masyarakat lingkungannya tampil dengan budaya represif, yang sistem sosialnya dalam proses tidak menghendaki perubahan, bertahan dengan struktur yang ada(morfostatis). Sedangkan Nabi Muhammad saw sedang memulai pembentukan kelompok (formation group) menuju perubahan. Ternyata sikap toleran sangat menentukan proses terjadinya bentuk serta perubahan atau perkembangan suatu sistem maupun struktural atau penyederhanaannya (morfogenesis).
Sikap toleran membuahkan kemampuan yang sangat signifikan dalam menetapkan pilihan yang terbaik. Mampu mendengar berbagai ungkapan dan menyaring yang terbaik daripada semua itu. Sikap toleran juga melahirkan kemampuan mengubah perilaku individu (self correction) terhadap pola yang selama itu dilakukan, yang tak berdaya mengubah masyarakat tradisional, tertutup dan represif, sehingga tujuan yang dicita-citakan dapat dicapai. Toleran, tidak menciptakan individu yang wangkeng, yang tidak mau mengubah perilakunya, walau tujuannya tidak tercapai. Secara apologi bersikap dan mengatakan bahwa: Tujuan itu tidak tercapai karena belum waktunya, atau nasibnya memang demikian dan tidak mau mengubah diri.
Sikap toleran, mampu menemukan jalan keluar dan problem solving yang pantas dan mengangkat martabat dan harga diri dalam berbagai bidang kehidupan. Dengan sikap toleran, Rasulullah bermigrasi (hijrah) meninggalkan kehidupan dan tatanan sosial tradisional represif yang belum mampu diubahnya menuju kepada tempat dan kelompok masyarakat yang telah dipersiapkannya untuk dapat menerima perubahan dan bahkan menjadikannya sebagai agen perubahan di zamannya serta zaman selanjutnya. Bersama kelompoknya kemudian berinteraksi membaur ke dalam berbagai kelompok dalam masyarakat yang majemuk baik ras maupun agama. Interaksi yang sedemikian itu mampu menciptakan kehidupan yang saling membutuhkan dan saling memerlukan, dalam bentuknya yang saling bertanggung jawab dalam membela masyarakatnya.

Sumber:

Konflik kesetaraan Gender

06.59 Posted by adytia maulana No comments
Sejak diturunkan, risalah Islam telah menyelamatkan perempuan dari rusaknya peradaban manusia yang tidak menghargai kaum hawa. Membunuh anak perempuan karena rasa malu, menjadikan wanita barang warisan, memperlakukan wanita hanya sebagai pemuas nafsu laki-laki dan sasaran pelampiasan kekerasan adalah hal yang ada hampir diseluruh dunia sebelum datang Islam.
Islam datang mengangkat permpuan dari derajat yang demikian menjadi kaum yang sangat mulia, dengan beberapa keistimewaan. Memang Islam tidak mengekang perempuan. Islam memperbolehkan perempuan bebas berkiprah di ranah publik. Karena itu Islam mendorong perempuan untuk selalu mencari bekal untuk kemajuan dirinya tanpa mengesampingkan tabiat perempuannya. Misalnya: perempuan diwajibkan menuntut ilmu sama halnya dengan laki-laki, juga mereka diperbolehkan mengaplikasikan ilmunya di berbagai lapangan kehidupan selama tidak membahayakan harkat dan martabatnya.
Akan tetapi, pasca runtuhnya khilafah Islamiyah di Turki, umat Islam termasuk kaum muslimah mengalami kemunduran luar biasa diberbagai lapangan kehidupan. Perempuan mulai terambil kemulyaannya, mereka sedang dan telah teracuni dengan sistem yang sedang menguasai mereka, sistem sekular, yaitu upaya menyetarakan kedudukan laki-laki dan perempuan disegala bidang. Gagasan ini menghendaki agar perempuan diberi hak-hak yang setara dengan laki-laki (gender equality). Perempuan harus dibebaskan dari diskriminasi, dari beban-beban yang menghambat kemandirian, sekalipun dengan cara mereduksi nilai-nilai budaya dan agama, beban itu antara lain sebagai ibu, hamil, menyusui, mendidik anak dan mengatur urusan rumah tangga.
Gagasan tersebut  masuk ke dunia Islam, negeri Mesir, pada awal abad ke-20. Gagasan ini telah memberikan perubahan yang sangat tampak pada busana  perempuan  dan laki-laki. Kaum perempuan mulai terlihat dijalan-jalan, mereka tidak lagi tinggal di dalam rumah, mereka aktif di ranah publik.
Agaknya para aktivis perempuan Indonesia juga mengalami hal yang sama, dengan menobatkan R.A Kartini sebagai pejuang emansipasi. Mereka mengambarkannya sebagai sosok yang bersemangat memperjuangkan kaum perempuan agar mempunyai hal yang sama dan sejajar dengan laki-laki. Benarkah apa yang mereka perjuangkan sejalan dengan perjuangan R.A Kartini? 
Film wanita berkalung surban menjadi salah satu dari representasi  kesalahan memahami perjuangan R.A. Kartini, perjuangan Muslimah di era kejaan Islam serta teks-teks ajaran Agama. Kita bisa menyaksikan perempuan disekitar kita, banyak dari mereka yang menuntut bahkan memperjuangkan kebebasan untuk perempuan.
Kontes ratu tercantik dunia, salah satu dari bentuk kekebasan berekspresi yang mereka tuntut. Perempuan dengan hanya memakai pakaian bikini, adalah salah satu dari unsur seni yang menawan, yang merupakan bagian dari industri kapitalisme, Miss Universe dipilih untuk menjadi ujung tombak promosi produk.  Dan masih banyak lagi bentuk-bentuk kebebasan yang mereka perjuangkan atas nama kesetaran.
Langkah pemberdayaan perempuan ini oleh aktifis gender ditekankan pada kemandirian dan kebebasan kaum perempuan di bidang ekonomi, perempuan didorong untuk mandiri dalam finansialnya. Ketika perempuan telah mandiri, ia tidak lagi tergantung pada laki-laki, peran domestic keluarga tidak lagi dipihak perempuan, harus ada pembagian kerja. Peran keibuan tidak lagi menjadi tanggungjawab perempuan. Yang akhirnya tidak ada satupun baik laki-laki atau perempuan mengambil peran utama dalam rumah tangga, karena keduanya berperan aktif diranah publik.
Bagaiman dengan anak-anak? Bila ibu dan ayah tersita waktunya di sektor publik. Finansial akan menyelesaikannya dengan menggaji pembantu, Negarapun dapat mengambil alih dengan penyelenggaraan day care centre sebagaimana yang diterapkan di Negara-negara skandinavia.
Pada titik ini, kehancuran institusi keluarga muslim akan semakin jelas. Peran kepemimpinan (qowamah) yang dibebankan pada laki-laki akan melemah, karena para perempuanpun menuntut kepemimpinan tersebut, apalagi bila gaji istri lebih tinggi dari suami. Peran keibuan (ummah) dan pengelola rumah tangga (robbatul bait) akan terabaikan. Padahal peran ini adalah peran utama dan pertama dalam melahirkan generasi berkwalitas.
Dalam makalah ini kami menjelaskan perjuangan gender dan feminisme, dari awal mulanya sampai pada masa kita sekarang, gejala-gelaja yang Nampak dalam masyarakat akibat dari tidak adanya keadilan dan kesetaraan gender, dan bagaimana Islam menempatkan perempuan baik dalam sektor domestik dan public, sehingga Nampak bagi kita apakah benar Islam mendiskriminasi perempuan, mengekang perempuan, tidak memberikan hak-haknya seperti yang mereka tuduhkan pada Islam. Juga di penutup makalah ini ditawarkan solusi pemberdayaan perempuan, dengan harapan perempuan terutama muslimah bisa lebih berhati-hati menerima tawaran-tawaran pemberdayaan dan kesejahteraan perempuan yang diberikan dari konsep kesetaraan gender yang justru berbalik menjadi eksploitasi dirinya dan waktu bersama anak-anak dan keluarga tersita untuk memenuhi ajakan yang bersifat fatamorgana.
B.     SEKILAS TENTANG GENDER
1.     ARTI GENDER
Kata gender secara etimologi berasal dari bahasa Inggris gender yang berarti jenis kelamin. Mansoour Fakih dalam makalahnya ia menuliskan bahwa  gender and society adalah perbedaan yang bukan biologis dan bukan kodrat tuhan. Perbedaan biologis yakni perbedaan jenis kelamin (seks) adalah kodrat tuhan, karenanya secara permanen berbeda. Sementara gender adalah behavioral differences antara laki-laki dan perempuan yang socially constructed yakni perbedaan yang bukan kodrat atau bukan ciptaan tuhan, melainkan diciptakan melalui proses sosial dan budaya yang panjang. Oleh karena itu gender berubah dari waktu kewaktu, dari  tempat ke tempat yang lain, serta dari kelas ke kelas yang lain.
Menurut Ilmu Sosiologi dan Antropologi, Gender adalah perilaku atau pembagian peran antara laki-laki dan perempuan yang sudah dikonstruksikan atau dibentuk di masyarakat tertentu,  pada masa  dan waktu tertentu pula. Gender ditentukan oleh sosial dan budaya setempat sedangkan seks adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan oleh Tuhan.
Menurut Zaitunah Subhan: ada dua perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Pertama perbedaan kodrati, perbedaan ini bersifat mutlak dan mengacu pada hal-hal yang bersifat biologis. Perempuan memilliki rahim, payudara, ovarium, haid, hamil, melahirkan dan menyusui. Pria memiliki penis, dilengkapi dengan scortum dan sperma untuk pembuahan. Kedua: perbedaan non kodrati yaitu perbedaan yang dihasilkan oleh interpretasi social atau sering disebut dengan social contruction. Perbedaan bersifat non kodrati, tidak kekal, sangat mungkin berubah dan berbeda-beda berdasarkan ruang dan waktu. Perbedaan ini tidak berlaku umum, perannya bisa diubah, ditukarkan atau menjadi nurture.
Pemakaian gender dalam wacana feminis pertama kali dicetuskan oleh Anne Oakley.Perbedaan antara seks dan gender berkaitan erat dengan ciri-ciri biologis dan fisik tertentu, termasuk kromoson dan genetika. Sementara identitas gender lebih banyak dibentuk oleh persepsi sosial dan budaya tentang stereotip perempuan dan laki-laki dalam sebuah masyarakat.
Predikat laki-laki dan perempuan di masyarakat sekarang dianggap sebagai sebuah simbol. Laki-laki diidentifikasi sebagai orang yang memiliki karakteristik “kejantaan” (masculinity), sedangkan perempuan diidentifikasikan sebagai orang yang memiliki karakteristik “kewanitaan” (feminity). Perempuan dipersepsikan sebagai manusia yang cantik, langsing dan lembut, sebaliknya laki-laki dipersepsikan sebagai manusia perkasa, Anggapan seperti ini dengan sendirinya akan memberikan peran lebih luas kepada laki-laki dan pada saatnya laki-laki memperoleh status sosial yang lebih tinggi dari perempuan.
Dalam masyarakat seperti ini laki-laki diposisikan sebagai makhluk yang berkuasa atau superior terhadap perempuan diberbagai sektor kehidupan baik itu domestik maupun publik. Gender yang semula merupakan interaksi social yang setara antara laki-laki dan perempuan bergeser menjadi hegemoni laki-laki terhadap perempuan.
Sedang istilah feminisme lebih bersifat subjektif. Sehingga penggunaannya sering menimbulkan kebingungan dan memicu munculnya berbagai definisi dari kata feminism. Sebenarnya setiap orang yang menyadari adanya ketidakadilan dan diskriminatif yang di alami perempuan karena jenis kelaminnya dan mau melakukan sesuatu untuk mengakhiri ketidakadilan tersebut, pada dasarnya dapat dikatakan sebagai feminis. Gerakan feminis ini muncul sebagai akibat dari kesadaran perempuan terhadap hegemoni laki-laki terhadap mereka. Perjuangan ini bertujuan untuk mengambil hak-hak kemanusiaan mereka untuk menemukan kesetaran gender.
Gerakan Women’s liberation di Amerika merupakan momentum penting dalam sejarah gerakan feminism. Usaha-usaha terorganisasi untuk meningkatkan status kesetaraan gender pertama kali muncul di Amerika Serikat. Tahun 1800 gerakan ini mulai berkembang diberbagai Negara, peran perempuan dalam bidang pendidikan dan ketenagakerjaan berangsur-angsur meningkat. Dengan semakin maraknya gerakan feminism di Barat sejak akhir 1960-an semakin banyak pula perempuan yang mendapat kesempatan berpartisipasi dalam lapangan pekerjaan seperti laki-laki. Namun dibalik kemajuan perempuan dalam partisipasinya di dunia maskulin, banyak yang mengkritik bahwa kondisi perempuan bukan menjadi lebih baik, tetapi menjadi memburuk.
Kondisi perempuan yang semakin memburuk itu membuat kaum perempuan mempertanyakan kembali kebebasan yang dulu pernah mereka miliki. Pejuang feminism mulai mengkaji kembali ide dan gagasan yang pernah mereka perjuangkan. Hingga pada akhir tahun 1960-an dan sepanjang tahun 1970-an  konsep gender mulai diperjuangkan dalam tataran strategis. Upaya menanamkan nilai-nilai gender di mulai melalui konferensi-konferensi dan konggres-konggres yang diikuti oleh perwakilan kaum perempuan dari berbagai Negara. Dari konferensi dan konggres tersebut lahirlah ide dan gagasan baru untuk menyelamatkan perempuan dari ketidakadilan, agar perempuan mendapatkan kembali hak-haknya, mendorong perempuan untuk mendapatkan kesetaraan gender dan untuk memberdayakan kaum perempuan.
Pada 1952 digulirkan mengenai kovensi hak politik perempuan. Di Kopenhagen 1980 diadakan konferensi dunia UN Mid decade of women yang mengesahkan konvensi tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Pada 1985 diadakan world Conference on Result on Ten Years Woment Movement di Nairobi yang menghasilkan The Nairobi Looking Forward Strategi for the Advecement of Woman. Di Vienna 1990 diadakan 34 th Comission on the status of women. Tahun 1994 di adakan konferensi Beijing plat form and action (BPFA).  Pada tahun 1995 inilah mulai dikenalkan wawasan gender and development (GDA) dengan penekanan pada kesadaran tentang kesetaraan gender (gender equality) dalam menentukan pembangunan. Ada 12 bidang yang dianggap kritis dalam BPFA yaitu: perempuan dan kemiskinan, pendidikan dan pelatihan bagi perempuan, perempuan dan kesehatan, kekerasan terhadap perempuan, perempuan dan konflik bersenjata, perempuan dan ekonomi, perempuan dalam pengambilan kekuasaan, mekanisme institusional untuk kemajuan perempuan, hak asasi perempuan, perempuan dan media, perempuan dan lingkungan serta anak perempuan
2.     LANDASAN TEORI KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER
Sejak tahun 1990, UNDP (United Nations Development Report) melalui laporan berkalanya “ Human Development Report (HDR) menetapkan indikator baru dalam menilai keberhasilan pembangunan suatu Negara, yang sebelumnya hanya diukur dengan GDP (Growth Domestic Product). Indikator baru tersebut dikenal dengan Human Development Indexs (HDI) yang meliputi tiga aspek yaitu: usia harapan hidup (life expectancy), angka kematian bayi (infant moertality Rate), dan kecukupan pangan (food security). Pada tahun 1995, UNDP menambah konsep HDI dengan konsep kesetaraan gender (gender equality) dalam mengevaluasi keberhasilan pembangunan suatu Negara.
Perhitungan yang dipakai adalah Gender Development Index (GDI) yaitu kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam usia harapan hidup, pendidikan dan jumlah pendapatan, serta Gender Empowerment Measure (GEM) yang mengukur kesetaraan dalam partisipasi politik dan dalam sector lainnya. Ukuran ini bertitik tolak pada konsep kesetaraan sama rata. Misalnya, apabila rata-rata laki-laki dan perempuan sama-sama berpenghasilan dua juta rupiah setahun, menerima pendidikan sama-sama sepuluh tahun atau proporsi yang aktif dalam politik sama-sama 20 %, maka angka GDI dan GEM adalah 1, atau telah terjadi perfect equality. Konsep kesetaraan kuantitatif (50/50) inilah yang diidealkan oleh UNDP, sehingga lembaga ini mengharapkan seluruh Negara di dunia dapat mencapai kesetaraan yang demikian
Menurut Ratna Megawangi, dalam bukunya membiarkan berbeda, landasan teori yang tepat untuk menempatkan kesetaraan gender 50/50 terdapat dalam paradigma sosial konflik. Paradigma ini dipelopori oleh Karl Marx dan friedrich Engels. Engles menganalogikan hubungan suami istri dalam keluarga sebagai hubungan kelas kapitalis dan proletar. Collins (1975) yang menerapkan teori dalam keluarga dan masyarakat dalam pola relasi sosial.  Marx-Engels menganalisa kedudukan perempuan dalam keluarga dan masyarakat. Kaum laki-laki diibaratkan sebagai kaum borjuis dan perempuan sebagai kaum proletar yang tertindas baik dalam kaitan fungsi ekonomi, seksual dan pembagian property dalam keluarga. Selanjutnya ia mengatakan bahwa keluarga menjadi institusi untuk melanggengkan sistem patriarkat, dimana kedudukan suami istri dan anak-anak tetap pada posisi vertikal dan dianggap sebagai struktur ideal.
Sistem patriarkat ini ditolak oleh para feminis dan mereka berusaha mewujudkan sistem yang lebih egaliter. Dalam pandangan mereka sistem patriarkat ini dapat diruntuhkan dengan transformasi social yaitu perobakan sistem social yang ada, yaitu wanita perlu masuk ke dalam dunia laki-laki agar kedudukan dan statusnya setara dengan laki-laki, untuk itu wanita perlu mengadopsi kualitas maskulin agar mampu bersaing dengan laki-laki.



3.     PERBEDAAN GENDER MELAHIRKAN KETIDAKADILAN
Dalam uraian diatas dapat difahami adanya pergeseran relasi gender yang menimbulkan ketidakadilan. Ketidakadilan gender tersebut telah termanifestasi dalam berbagai bentuk, diantaranya[25]:
a.     Terjadinya Marginalisasi (peminggiran).
Peminggiran banyak terjadi dalam bidang ekonomi. Misalnya banyak perempuan hanya mendapatkan pekerjaan yang tidak terlalu bagus, baik dari segi gaji, jaminan kerja ataupun status dari pekerjaan yang didapatkan. Hal ini terjadi karena sangat sedikit perempuan yang mendapatkan peluang pendidikan. Peminggiran dapat terjadi di rumah, tempat kerja, masyarakat, bahkan oleh negara yang bersumber keyakinan, tradisi/kebiasaan, kebijakan pemerintah, maupun asumsi-asumsi ilmu pengetahuan (teknologi).
b.     Terjadinya Subordinasi (penomorduaan)
Anggapan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih utama di banding jenis kelamin lainnya. Sudah sejak dulu ada sebuah pandangan yang menempatkan kedudukan dan peran perempuan lebih rendah dari laki-laki. Banyak kasus dalam tradisi, tafsiran agama maupun birokrasi yang meletakkan perempuan sebagai subordinasi dari kaum laki-laki. Kenyataan memperlihatkan bahwa masih ada nilai-nilai yang membatasi ruang gerak perempuan dalam kehidupan.
c.      Adanya pandangan Stereotype.
Pelabelan negatif secara umum selalu melahirkan ketidakadilan. Salah satu stereotipe yang berkembang berdasarkan pengertian gender, yakni terjadi terhadap salah satu jenis kelamin (perempuan). Misalnya pandangan terhadap perempuan yang tugas dan fungsinya hanya melaksanakan pekerjaan yang berkaitan dengan pekerjaan domestik. Apabila seorang laki-laki marah, ia dianggap tegas, tetapi bila perempuan marah atau tersinggung dianggap emosional dan tidak dapat menahan diri. Standar nilai terhadap perilaku perempuan dan laki-laki berbeda, namun standar nilai tersebut banyak menghakimi dan merugikan perempuan. Label kaum perempuan sebagai “ibu rumah tangga” merugikan, jika hendak aktif dalam “kegiatan laki-laki” seperti berpolitik, bisnis atau birokrat. Sementara label laki-laki sebagai pencari nafkah utama, (breadwinner) mengakibatkan apa saja yang dihasilkan oleh perempuan dianggap sebagai sambilan atau tambahan dan cenderung tidak diperhitungkan.
d.     Berbagai bentuk tindak  kekerasan (violence) terhadap perempuan sebagai akibat perbedaan gender.
Banyak sekali terjadi kekerasan yang dialami perempuan, mulai dari kekerasan fisik seperti pemerkosaan dan pemukulan, juga kekerasan dalam bentuk yang lebih halus seperti pelecehan seksual (sexual Harassment) dan penciptaan ketergantungan.
e.      Bentuk lain dari diskriminasi dan ketidakadilan gender adalah beban ganda yang harus dilakukan oleh Perempuan.
Dalam suatu rumah tangga pada umumnya beberapa jenis kegiatan dilakukan laki-laki, dan beberapa dilakukan oleh perempuan. Berbagai observasi, menunjukkan perempuan mengerjakan hampir 90% dari pekerjaan dalam rumah tangga. Sehingga bagi mereka yang bekerja, selain bekerja di tempat kerja juga masih harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Semua manifestasi ketidakadilan tersebut saling terkait dan mempengaruhi, dan ini tersosialisasi kepada laki-laki dan perempuan yang lambat laun akhirnya laki-laki dan perempuan terbiasa dan akhirnya percaya bahwa peran gender  itu seolah-olah menjadi kodrat.

4.     GAMBARAN PEREMPUAN DALAM ISLAM
Di luar agama Islam banyak kaum perempuan yang berjuang untuk mendapatkan hak-haknya.  Perempuan Nasrani misalnya, harus berjuang keras agar pendapat mereka didengar dan lebih lanjut perjuangan ini menyebabkan perubahan yang ekstrim dalam teks-teks bible sehingga tidak terkesan sexist dan lebih dapat diterima oleh kaum perempuan.
Sepanjang abad ke-19 perempuan Inggris tidak mendapatkan hak waris dan tidak diperbolehkan menyimpan penghasilannya, tidak mempunyai hak pilih sampai pada tahun 1975 mereka menuntut hak mendapatkan upah yang sama dengan laki-laki. Lain halnya dengan Islam. Agama yang mulia ini telah menempatkan perempuan sebagai mitra laki-laki bukan makhluk nomor dua dan telah memberi perempuan hak-haknya secara adil  sehingga seorang muslimah tidak perlu lagi meminta, menuntut bahkan memperjuangkannya. Bahkan apabila seorang muslimah menginginkan surga, akan mudah ia raih dari pada kaum laki-laki.
Dialog yang terjadi antara shabiyah Asma’ binti Yazid dengan baginda Rasulullah SAW, menjadi representasi dari teraihnya surga bagi perempuan hanya dengan melaksanakan tanggungjawabnya  di dalam rumah tangga dan selalu taat pada suami. Asma’ berkata: wahai Rasulullah SAW bukankah engkau diutus oleh Allah untuk kaum laki-laki dan wanita, kenapa sejumlah syariat berpihak kepada kaum pria, mereka diwajibkan jihad kami tidak, malah kami mengurus harta dan anak-anak mereka dikala mereka sedang jihad, mereka diwajibkan sholat jum’at kami tidak, mereka diperintah mengantar jenazah sedangkan kami tidak, Rasulullah SAW tertegun atas pertanyaan perempuan ini, sambil berkata kepada para shahabat, “ perhatikan betapa bagusnya pertanyaan perempuan ini, Beliau melanjutkan: wahai Asma’! sampaikan jawaban kami kepada seluruh perempuan dibelakangmu, yaitu apabila kalian bertanggung jawab dalam berumah tangga dan taat kepada suami, kalian dapatkan semua pahala kaum laki-laki itu”. (Diterjemahkan secara bebas, HR. Ibnu Abdil Bar).
Islam telah menempatkan perempuan pada posisi yang terhormat, dan jika difahami dengan benar teks-teks al-Qur’an maupun hadis-hadis Rasulullah SAW, maka kita temukan bahwa Islam memberikan keistimewaan untuk perempuan dan jika di praktekkan dengan benar, perbedaan gender merupakan sunatullah yang bertujuan untuk menjaga keseimbangan kehidupan. Nasaruddin Umar mengatakan: ada lima prinsip kesetaraan dalam Al-Qur’an yaitu: sama-sama sebagai hamba, sama-sama sebagai kholifah, sama-sama menerima perjanjian primordial, terlibat secara praktis dalam drama kosmis dan berpotensi meraih prestasi.
            Posisi perempuan yang digambarkan dalam al-Qur’an adalah sebagai berikut:
       i.            Dalam kehidupan berumah tangga, perempuan sebagai pendamping suami.
 Al-Qur’an menegaskan bahwa asal penciptaan laki-laki dan perempuan adalah satu (min nafsin wahidatin)[35]. Asal penciptaan yang sama inilah, keduanya mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Dalam kehidupan berumah tangga laki-laki  sebagai pemimpin dan bertanggungjawab terhadap apa yang dibawah kepemimpinannya. Kata Qowwamah yang berarti pemimpin sering diinterpretasikan sebagai penindasan dan ketidakadilan terhadap perempuan. Tugas kepemimpinan laki-laki (suami) dalam ayat tersebut hanya terbatas pada institusi keluarga, karena dalam pandangan Islam keluarga adalah titik awal yang mempengaruhi semua fase perjalanan hidup manusia dan merupakan unit pembangunan pertama.
Makna kepemimpinan disini tidak untuk mendholimi atau menindas satu sama lain, tetapi agar perkara tersebut dapat berjalan dengan lancar. Adanya tanggung jawab kepemimpinan pada laki-laki adalah peran yang dibebankan Allah SWT sebagaiman Allah menetapkan peran melahirkan, pengasuhan dan pemeliharaan generasi ada pada perempuan. Masing-masing  peran dibebankan sesuai dengan potensi dan kelebihan yang dimilki.
Kepemimpinan laki-laki tersebut juga tidak mencabut hak-hak istri dalam berbagai segi, termasuk dalam kepemilikan harta pribadi dan pengelolaannya baik itu harta yang didapatkan dari hak waris atau dari usahanya sendiri walaupun tanpa persetujuan suami atau wali. Oleh karena itu mahar dalam Islam harus dibayar untuknya sendiri, bukan untuk orang tuanya dan tidak boleh diambil oleh suami. Dan sebagai bukti kesempurnaan pengelolaan harta pribadinya setelah menikah adalah perempuan berhak untuk tetap menggunakan nama keluarganya sendiri dibelakang namanya.
Perhatian Islam terhadap perempuan (istri) tidak berhenti sampai disini.  Perlakuan dan sikap yang baik terhadap perempuan disejajarkan oleh Rasulullah SAW dengan kesempurnaan Iman seseorang. Negara Skandinavia adalah Negara yang menurut UNDP (United Nations Development Report) berhasil melaksanakan konsep gender (gender equality) 50:50, justru sebaliknya, di sana terjadi banyak kerusakan struktur sosial, angka perceraian meningkat 100% dalam waktu 20 tahun, presentasi anak yang dilahirkan diluar nikah melebihi 50%, kriminalitas meningkat 400%(1950-1970) Juga di negera Amerika terdapat rumah pengasingan untuk perempuan-perempuan yang ditinggalkan suami-suami mereka dalam menikmati perempuan yang lain. Rumah tersebut memang terlihat menarik dari bagunannya , karena terdapat lukisan karya seni, sehingga tidak tampak dari luar bahwa bangunan tersebut adalah karantian buat perempuan.
Dari contoh dua Negara di atas, menggambarkan pada kita  bahwa konsep kesetaraan yang mereka tawarkan terbukti tidak bisa menjamin kebahagian perempuan. Dengan demikian Islam telah menumbangkan sistem sosial yang tidak adil terhadap perempuan dengan sistem yang adil. Sehingga dalam ajaran Islam tidak memungkinkan untuk memiskinkan (marjinalisasi), diskriminatif dan subordinasi terhadap perempuan.
     ii.            Dalam kehidupan bermasyarakat, perempuan adalah mitra laki-laki.
Tugas pokok seorang perempuan untuk menjalanankan peranannya sebagai ibu dari anak-anaknya dan sekaligus pengatur rumah tangganya tidak berarti membatasi aktivitasnya hanya pada ini saja. Akan tetapi dalam saat yang bersamaan Islam memberikan peranan kepada perempuan dalam kedudukannya sebagai anggota masyarakat.
Islam membolehkan perempuan untuk bekerja di luar rumah, baik dalam mendukung pembangunan masyarakat atau untuk menopang ekonomi keluarganya. Tetapi sekalipun perempuan boleh bekerja diluar rumah, dia harus tetap memperhatikan bahwa aktivitasnya diluar rumah tidak melalaikannya pada tugas pokoknya, dia juga harus melakukannya dalam keadaan tetap terikat dengan dengan hukum-hukum syara’.
Contoh  yang sekarang dianggap sebagai lapangan pekerjaan, yang menawarkan jutaan bahkan miliaran rupiah, menjadikan perempuan baik itu anak-anak atau dewasa berebut. Adalah miss universe ajang kontes kecantikan, yang memamerkan tidak hanya sekedar intelektualitas perempuan, melainkan pamer keindahan tubuh perempuan adalah tujuan pokoknya. Tidak berlebihan apa yang dikatakan oleh bapak Daoed Yoesoef, mantan menteri pendidikan dan kebudayaan di tahun 1978: “Pemilihan ratu-ratuan seperti yang dilakukan sekarang adalah suatu penipuan, disamping pelecehan terhadap hakikat keperempuanan. Tujuan kegiatan ini adalah tak lain dari meraup keuntungan berbisnis, bisnis tertentu, perusahaan kosmetik, pakain renang, rumah mode, salon kecantikan dengan mengeksploitasi kecantikan yang sekaligus merupakan kelemahan perempuan, insting primitive dan nafsu elementer laki-laki dan kebutuhan akan uang untuk bisa hidup mewah”.
Dalam kehidupan sosial politik, Islam memberikan peluang sama pada laki-laki dan perempuan untuk ikut berperan dalam masyarakat. Islam memberikan hak memilih pemimpin atau wakil yang akan menyampaikan aspirasinya, atau dia menjadi wakil orang lain. Seperti yang dilakukan shahabiyah Ummu Ammarah binti Kalb dan Asma’ binti Amr ibn ‘Adi, dalam peristiwa baiat ‘Aqobah pertama tahun ke-13 kenabian. Mereka berdua membaiat Rasulullah SAW untuk selalu tunduk pada perintahnya, dan melindunginya.
Islam juga mewajibkan kepada perempuan untuk melakukan koreksi terhadap pemerintah, karena aktivitas ini merupakan aktivitas amr ma’ruf nahi munkar. Dan Islam juga membolehkan perempuan untuk menyampaikan pendapatnya, seperti yang dilakukan Kholwah binti Tsa’labah ketika menyampaikan tindakan suaminya kepada Rasulullah SAW.
Tegasnya, banyak peran positif yang dapat dilakukan perempuan tanpa harus keluar dari kodratnya sebagai perempuan. Tentu saja dia harus pandai mengatur waktunya sehingga aktivitasnya di masyarakat tidak mengganggu bahkan mengabaikan tanggungjawab utamanya sebagai Ummun wa Robbatul Bait (Ibu dan pendidik keluarganya).
Dan Islam telah mempunyai konsep kesetaraan antara laki-laki dan perempuan tanpa ada diskriminasi apapun, yang membedakan antara keduanya dihadapan hukum syara’ adalah kualitas keimanannya.
  iii.            Perempuan sebagai pencetak generasi berkwallitas.
Dalam syair Arab disebutkan: ”Ibu adalah madrasah pertama, yang apabila kamu mempersiapkan denngan baik, berarti kamu mempersiapkan generasi yang baik akarnya, ibu adalah guru dari sekian guru yang penting, pengaruhnya menjangkau seluruh dunia.
          Generasi yang berkwalitas adalah menjadi harapan ummat. Yaitu generasi yang mampu membangkitkan dan mengembalikan kejayaan Islam seperti pada masa fajrul Islam. Perempuan sebagai ibu dan robbatul bait dituntut untuk memelihara dan mendidik anaknya semenjak masih dalam kandungan sampai anak menjadi dewasa dan mandiri, mampu untuk menentukan sikapnya dan mampu membedakan mana yang baik dan yang buruk. Bukan berarti laki-laki (suami/ayah) terlepas dari tugas tersebut.
Dalam masa inilah peran ibu menentukan, karena baik buruknya anak di kemudian hari ditentukan oleh benar salahnya pendidikan yang diberikan oleh kedua orang tua, dalam hal ini yang sangat berperan adalah ibu. Ketika orang tua memahami bahwa anak adalah amanah Allah, mereka akan senantiasa memilih bentuk, cara serta lingkungan pendidikan dan pergaulan pada umumnya bagi anak-anak mereka, mereka tidak hanya berorientasi ke masa depan dengan makna sempit (dunia) serta material semata, tetapi lebih jauh dan lebih penting adalah orientasi ukhrawi.
Karena orang tua terutama ibu bukan hanya sekedar sebagai induk buat anak-anak yang membesarkan mereka kemudian melepaskannya untuk hidup mandiri. Namun misi keduanya adalah sangat agung dan berat yaitu mendidik dan membina mereka hingga memiliki karakter ahli surga.
Perempuan (ibu) adalah pencetak generasi khairu ummah. Ia melahirkan, mengasuh, mendidik, membina….bukan pekerjaan yang mudah dan murah. Bukan pekerjaan yang dapat disempurnakan tanpa meningkatkan mutu diri. Mengawal proses tumbuh kembang anak, menuntunnya untuk mengenal Allah Tuhan yang menguasai jiwanya dan mentaati perintahNya, membimbingnya agar mampu mengatasi persoalan hidup yang kain komplek sesuai dengan aturan Allah SWT. Peran yang sangat menentukankan warna generasi berikutnya.
Seorang feminis, Alice Rossi, mengubah pendapatnya. Tahun 1960 berpendapat bahwa stereotyp perempuan bukan karena nature (alami) melainkan adanya sosialisasi, kemudian tahun 1978 berpendapat, perbedaan peran gender bukan karena faktro sosialisasi melainkan bersumber pada keragaman antarsex yang mempunyai tujuan fundamental untuk kelangsungan hidup manusia. Alice juga berpendapat bahwa tidak ada satu masyarakat pun yang dapat menggantikan figur ibu sebagai pengasuh, kecuali dalam kasus-kasus yang jarang terjadi di mana ada perempuan tertentu terdeviasi dari kecenderungan sifat normalnya.
Sungguh tiga posisi yang dimiliki perempuan ini, menempatkan perempuan benar-benar menjadi mar’ah sholehah yang digambarkan oleh Rasulullah SAW sebagai perhiasan dunia.  Namun banyak sekali kaum perempuan yang tidak bisa dan atau kurang memahami  Islam sebagai aturan kehidupannya dengan baik dan benar dikarenakan dua hal, seperti yang dikatakan oleh Prof. Hasbi As-Shidiqik: pertama: kaum perempuan intelektual tidak mengetahui dengan jelas dan sempurna tujuan-tujuan Islam, tidak merasakan kelebihan dan keutamaan Islam karena mereka mengetahui hanya dari gambaran-gambaran kehidupan yang ada sekarang. Kedua: pihak yang mendasarkan perjuangannya pada Islam tidak sanggup membuktikan keindahan Islam yang dapat memuaskan pihak lain dalam realitas keseharian.



DAFTAR PUSTAKA
            Al-Qu’an Al-karim
            Aliansi Penulis pro Syari’ah, Keadilan dan kesetaraan gender, tipu daya penghancuran keluarga, 2007.
            Dr. Mansour Fakih, Analisa gender dan transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1983.
             Ismail Adam Patel, Perempuan, Feminism dan Islam, Pustaka Thoriqul Izzah, 2005
Imad Zaki Al-Barudi, Tafsir wanita, Pustaka al-Kautsar, Jakarta, Edisi Indonesia, 2003
Imam Abi Zakariya bin Syarof An-Nawawi, Riyadlus Sholihin, terjemahan, Pustaka Imani, Jakarta 1996.
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus bahasa Inggris-Indonesia, Gramedia, Jakarta 1983
Kadarusman, M.Ag, Relasi Gender dan Feminism, Kreasi Wacana, Jogjakarta 2005
Majalah Al-Wa’ie, Media politik dan Dakwah
            Ratna Megawangi, Membiarkan berbeda, sudut pandang baru tentang relasi gender, Mizan, Jakarta, 1999.
            Membincang Feminism diskursus gender prespektif  Islam, Risalah Gusti, Surabaya 2000
            Siti Juwariyah, Tesis: Kesetaraan gender dan seks serta pengaruhnya dalam pendidikan Islam, Universitas Muhammadiyah Surabaya, 2005.
            Tim Pemberdayaan Perempuan, HTI, Poligami mubah mereka resah, tanpa tahun.
            Tabloid Media Ummat, memperjuangkan kehidupan Islam.
            Shofiyur Rohmah Mubarrokfury, Arrohiqul Mahtum, Riyadl
            Quraisy Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Mizan, Jakarta, 2007