Sejarah DKI JAKARTA
Daerah
Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta, Jakarta Raya) adalah ibu kota negara
Indonesia. Jakarta merupakan satu-satunya kota di Indonesia yang memiliki
status setingkat provinsi. Jakarta terletak di bagian barat laut Pulau Jawa.
Dahulu pernah dikenal dengan nama Sunda Kelapa (sebelum 1527), Jayakarta (1527
1619), Batavia/Batauia, atau Jaccatra (1619-1942),Jakarta Toko Betsu Shi
(1942-1945) dan Djakarta (1945-1972). Di dunia internasional Jakarta juga
mempunyai julukan seperti J-Town,[4] atau lebih populer lagi The Big Durian
karena dianggap kota yang sebanding New York City (Big Apple) di Indonesia.
Jakarta memiliki luas sekitar 661,52 km² (lautan: 6.977,5 km²), dengan penduduk
berjumlah 10.187.595 jiwa (2011).ilayah metropolitan Jakarta (Jabotabek) yang
berpenduduk sekitar 28 juta jiwa, merupakan metropolitan terbesar di Asia
Tenggara atau urutan kedua di dunia.Sebagai pusat bisnis, politik, dan
kebudayaan, Jakarta merupakan tempat berdirinya kantor-kantor pusat BUMN,
perusahaan swasta, dan perusahaan asing. Kota ini juga menjadi tempat kedudukan
lembaga-lembaga pemerintahan dan kantor sekretariat ASEAN. Jakarta dilayani
oleh dua bandar udara, yakni Bandara Soekarno–Hatta dan Bandara Halim
Perdanakusuma, serta satu pelabuhan laut di Tanjung Priok.
·
Etimologi
Nama Jakarta
sudah digunakan sejak masa pendudukan
Jepang tahun 1942, untuk menyebut wilayah bekas Gemeente Batavia yang diresmikan
pemerintah Hindia Belanda pada
tahun 1905. Nama ini dianggap sebagai kependekan dari kata Jayakarta
(Dewanagari जयकृत), yang
diberikan oleh orang-orang Demak dan Cirebon di
bawah pimpinan Fatahillah (Faletehan)
setelah menyerang dan menduduki pelabuhan Sunda Kelapa pada tanggal 22 Juni
1527. Nama ini biasanya diterjemahkan sebagai "kota kemenangan" atau
"kota kejayaan", namun sejatinya artinya ialah "kemenangan yang
diraih oleh sebuah perbuatan atau usaha".
Bentuk
lain ejaan nama kota ini telah sejak lama digunakan. Sejarawan Portugis João de
Barros dalam Décadas da Ásia (1553) menyebutkan keberadaan
"Xacatara dengan nama lain Caravam (Karawang)". Sebuah
dokumen (piagam) dari Banten (k. 1600) yang dibaca ahli epigrafi Van der
Tuuk juga telah menyebut istilah wong Jaketra, demikian
pula nama Jaketra juga disebutkan dalam surat-surat Sultan Banten dan Sajarah
Banten (pupuh 45 dan 47) sebagaimana diteliti Hoessein
Djajadiningrat. Laporan Cornelis de Houtman tahun
1596 menyebut Pangeran
Wijayakrama sebagai koning van Jacatra (raja
Jakarta).
·
Sunda Kelapa
(397–1527)
Jakarta
pertama kali dikenal sebagai salah satu pelabuhan Kerajaan Sunda yang bernama Sunda
Kalapa, berlokasi di muara Sungai Ciliwung. Ibu kota Kerajaan Sunda yang dikenal sebagai
Dayeuh Pakuan Pajajaran atau Pajajaran (sekarang Bogor)
dapat ditempuh dari pelabuhan Sunda Kalapa selama dua hari perjalanan. Menurut
sumber Portugis, Sunda Kalapa merupakan salah satu pelabuhan yang
dimiliki Kerajaan Sunda selain
pelabuhan Banten, Pontang, Cigede, Tamgara dan Cimanuk. Sunda Kalapa yang dalam
teks ini disebut Kalapa dianggap pelabuhan yang terpenting karena dapat ditempuh
dari ibu kota kerajaan yang disebut dengan nama Dayo (dalam bahasa Sunda modern: dayeuh yang
berarti ibu kota) dalam tempo dua hari. Kerajaan Sunda sendiri merupakan
kelanjutan dari Kerajaan
Tarumanagara pada abad ke-5 sehingga pelabuhan ini
diperkirakan telah ada sejak abad ke-5 dan diperkirakan merupakan ibu kota
Tarumanagara yang disebut Sundapura.
Pada
abad ke-12, pelabuhan ini dikenal sebagai pelabuhan lada yang
sibuk. Kapal-kapal asing yang berasal dari Tiongkok, Jepang,India Selatan,
dan Timur Tengah sudah
berlabuh di pelabuhan ini membawa barang-barang seperti porselen, kopi, sutra,
kain, wangi-wangian, kuda, anggur, dan zat warna untuk ditukar dengan rempah-rempah yang menjadi komoditas
dagang saat itu.
·
Jayakarta
(1527–1619)
Bangsa Portugis merupakan Bangsa Eropa pertama
yang datang ke Jakarta. Pada abad ke-16, Surawisesa, raja Sunda meminta bantuan
Portugis yang ada di Malaka untuk
mendirikan benteng di Sunda Kelapa sebagai perlindungan dari kemungkinan
serangan Cirebon yang akan memisahkan diri
dari Kerajaan Sunda.
Upaya permintaan bantuan Surawisesa kepada Portugis di Malaka tersebut
diabadikan oleh orang Sunda dalam cerita
pantun seloka Mundinglaya
Dikusumah, dimana Surawisesa diselokakan dengan nama gelarnya
yaitu Mundinglaya. Namun sebelum pendirian benteng tersebut
terlaksana, Cirebon yang dibantu Demak langsung
menyerang pelabuhan tersebut. Orang Sunda menyebut peristiwa ini tragedi,
karena penyerangan tersebut membungihanguskan kota pelabuhan tersebut dan
membunuh banyak rakyat Sunda di sana termasuk syahbandar pelabuhan. Penetapan
hari jadi Jakarta tanggal 22 Juni oleh Sudiro, wali kota Jakarta, pada tahun 1956 adalah berdasarkan
tragedi pendudukan pelabuhan Sunda Kalapa oleh Fatahillah pada tahun 1527.
Fatahillah mengganti nama kota tersebut menjadi Jayakarta yang
berarti "kota kemenangan". Selanjutnya Sunan Gunung Jati dariKesultanan Cirebon,
menyerahkan pemerintahan di Jayakarta kepada putranya yaitu Maulana
Hasanuddin dari Banten yang menjadi sultan di Kesultanan Banten.
·
Batavia (1619–1942)
Orang Belanda datang ke Jayakarta sekitar
akhir abad ke-16, setelah singgah di Banten pada tahun 1596.
Jayakarta pada awal abad ke-17 diperintah oleh Pangeran Jayakarta, salah seorang
kerabat Kesultanan Banten.
Pada 1619, VOC dipimpin
oleh Jan Pieterszoon
Coen menduduki Jayakarta setelah mengalahkan pasukan Kesultanan Banten dan kemudian
mengubah namanya menjadi Batavia. Selama kolonialisasi Belanda,
Batavia berkembang menjadi kota yang besar dan penting. (Lihat Batavia). Untuk pembangunan kota,
Belanda banyak mengimpor budak-budak sebagai pekerja. Kebanyakan dari mereka
berasal dari Bali, Sulawesi,Maluku, Tiongkok,
dan pesisir Malabar, India. Sebagian
berpendapat bahwa mereka inilah yang kemudian membentuk komunitas yang dikenal
dengan nama suku Betawi.
Waktu itu luas Batavia hanya mencakup daerah yang saat ini dikenal sebagai Kota Tua di Jakarta Utara. Sebelum
kedatangan para budak tersebut, sudah ada masyarakat Sunda yang tinggal di
wilayah Jayakarta seperti masyarakat Jatinegara
Kaum. Sedangkan suku-suku dari etnis pendatang, pada zaman
kolinialisme Belanda, membentuk wilayah komunitasnya masing-masing. Maka di
Jakarta ada wilayah-wilayah bekas komunitas itu seperti Pecinan, Pekojan, Kampung
Melayu, Kampung Bandan, Kampung Ambon, Kampung
Bali, dan Manggarai.
Pada
tanggal 9 Oktober 1740,
terjadi kerusuhan di Batavia dengan terbunuhnya 5.000 orang Tionghoa. Dengan
terjadinya kerusuhan ini, banyak orang Tionghoa yang lari ke luar kota dan
melakukan perlawanan terhadap Belanda. Dengan selesainya Koningsplein(Gambir) pada tahun 1818, Batavia berkembang ke arah
selatan. Tanggal 1 April 1905 di Ibukota Batavia dibentuk dua kotapraja ataugemeente,
yakni Gemeente Batavia dan Meester Cornelis. Tahun 1920, Belanda membangun kota
taman Menteng, dan wilayah ini menjadi tempat baru bagi petinggi Belanda
menggantikan Molenvliet di
utara. Pada tahun 1935, Batavia dan Meester Cornelis (Jatinegara) telah terintegrasi menjadi
sebuah wilayah Jakarta Raya.
Pada
1 Januari 1926 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan untuk
pembaharuan sistem desentralisasi dan dekonsentrasi yang lebih luas. Di Pulau
Jawa dibentuk pemerintahan otonom provinsi. Provincie West Java adalah
provinsi pertama yang dibentuk di wilayah Jawa yang diresmikan dengan surat
keputusan tanggal 1 Januari 1926, dan diundangkan dalam Staatsblad (Lembaran
Negara) 1926 No. 326, 1928 No. 27 jo No. 28, 1928 No. 438, dan 1932 No. 507.
Batavia menjadi salah satu keresidenan dalamProvincie West Java disamping
Banten, Buitenzorg (Bogor), Priangan, dan Cirebon.
·
Jakarta Toko
Betsu Shi (1942– 1945)
Pendudukan
oleh Jepang dimulai pada tahun 1942 dan
mengganti nama Batavia menjadi Djakarta untuk menarik hati
penduduk pada Perang Dunia II.
Kota ini juga merupakan tempat dilangsungkannya Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 dan
diduduki Belanda sampai pengakuan kedaulatan tahun 1949.
-
Jakarta
(1945-sekarang)
Sebelum tahun 1959, Djakarta merupakan bagian dari
Provinsi Jawa Barat. Pada tahun 1959, status Kota Djakarta mengalami perubahan
dari sebuah kotapraja di bawah wali kota ditingkatkan menjadi daerah tingkat
satu (Dati I) yang dipimpin oleh gubernur. Yang menjadi gubernur pertama
ialah Soemarno
Sosroatmodjo, seorang dokter tentara. Pengangkatan Gubernur DKI
waktu itu dilakukan langsung oleh Presiden Sukarno. Pada tahun 1961, status
Jakarta diubah dari Daerah Tingkat Satu menjadi Daerah Khusus Ibukota (DKI) dan
gubernurnya tetap dijabat oleh Sumarno.
Semenjak dinyatakan sebagai ibu kota, penduduk
Jakarta melonjak sangat pesat akibat kebutuhan tenaga kerja kepemerintahan yang
hampir semua terpusat di Jakarta. Dalam waktu 5 tahun penduduknya berlipat
lebih dari dua kali. Berbagai kantung permukiman kelas menengah baru kemudian
berkembang, seperti Kebayoran Baru, Cempaka Putih,Pulo
Mas, Tebet,
dan Pejompongan. Pusat-pusat permukiman juga
banyak dibangun secara mandiri oleh berbagai kementerian dan institusi milik
negara seperti Perum Perumnas.
Pada masa pemerintahan Soekarno, Jakarta melakukan
pembangunan proyek besar, antara lain Gelora Bung Karno, Masjid Istiqlal, dan Monumen Nasional. Pada masa ini pulaPoros
Medan Merdeka-Thamrin-Sudirman mulai dikembangkan sebagai pusat
bisnis kota, menggantikan poros Medan Merdeka-Senen-Salemba-Jatinegara. Pusat
permukiman besar pertama yang dibuat oleh pihak pengembang swasta adalah Pondok Indah (oleh PT Pembangunan
Jaya) pada akhir dekade 1970-an di wilayah Jakarta Selatan.
Laju perkembangan penduduk ini pernah coba ditekan
oleh gubernur Ali Sadikin pada
awal 1970-an dengan menyatakan Jakarta sebagai "kota tertutup" bagi
pendatang. Kebijakan ini tidak bisa berjalan dan dilupakan pada masa-masa
kepemimpinan gubernur selanjutnya. Hingga saat ini, Jakarta masih harus
bergelut dengan masalah-masalah yang terjadi akibat kepadatan penduduk,
seperti banjir, kemacetan, serta kekurangan alat
transportasi umum yang memadai. Pada Mei 1998,
terjadi kerusuhan di
Jakarta yang memakan korban banyak etnis Tionghoa. Gedung MPR/DPR diduduki oleh para
mahasiswa yang menginginkan reformasi. Buntut kerusuhan ini adalah
turunnya Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan. (Lihat Kerusuhan Mei 1998).
·
Agama
Agama
yang dianut oleh penduduk DKI Jakarta beragam. Menurut data pemerintah DKI pada
tahun 2005, komposisi penganut agama di kota ini adalah Islam (84,4%), Kristen Protestan (6,2 %), Katolik (5,7 %), Hindu (1,2 %),
dan Buddha (3,5 %) Jumlah umat
Buddha terlihat lebih banyak karena umat Konghucu juga ikut tercakup di dalamnya.
Angka ini tidak jauh berbeda dengan keadaan pada tahun 1980, dimana umat Islam
berjumlah 84,4%; diikuti oleh Protestan (6,3%), Katolik (2,9%), Hindu dan
Buddha (5,7%), serta Tidak beragama (0,3%) Menurut Cribb, pada tahun 1971
penganut agama Kong Hu Cu secara
relatif adalah 1,7%. Pada tahun 1980 dan 2005, sensus penduduk tidak mencatat
agama yang dianut selain keenam agama yang diakui
pemerintah.
Berbagai tempat peribadatan agama-agama dunia
dapat dijumpai di Jakarta. Masjid dan mushala, sebagai rumah ibadah umatIslam,
tersebar di seluruh penjuru kota, bahkan hampir di setiap lingkungan. Masjid
terbesar adalah masjid nasional, Masjid Istiqlal, yang terletak di Gambir.
Sejumlah masjid penting lain adalah Masjid Agung
Al-Azhar di Kebayoran
Baru, Masjid At Tin di Taman Mini,
dan Masjid Sunda Kelapa di Menteng.
Sedangkan gereja besar yang terdapat di Jakarta antara lain, Gereja Katedral
Jakarta, Gereja Santa Theresia di Menteng, dan Gereja Santo
Yakobus di Kelapa Gading untuk umat Katolik. Masih dalam
lingkungan di dekatnya, terdapat bangunan Gereja Immanuel yang
terletak di seberang Stasiun Gambir bagi
umat Kristen Protestan.
Selain itu, ada Gereja Koinonia di Jatinegara, Gereja Sion di
Jakarta Kota, Gereja Kristen Toraja di Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Bagi
umat Hindu yang bermukim di Jakarta dan sekitarnya, terdapat Pura Adhitya Jaya
yang berlokasi di Rawamangun, Jakarta Timur, dan Pura Segara di Cilincing,
Jakarta Utara. Rumah ibadah umat Buddha antara lain Vihara Dhammacakka Jaya
di Sunter, Vihara
Theravada Buddha Sasana di Kelapa
Gading, dan Vihara Silaparamitha di Cipinang Jaya. Sedangkan bagi
penganut Konghucu terdapat Kelenteng Jin Tek
Yin. Jakarta juga memiliki satu sinagoga yang digunakan oleh pekerja
asing Yahudi.
·
Etnis
Berdasarkan
sensus penduduk tahun 2000, tercatat bahwa
penduduk Jakarta berjumlah 8,3 juta jiwa yang terdiri dari orang Jawa sebanyak 35,16%, Betawi (27,65%), Sunda (15,27%), Tionghoa (5,53%), Batak (3,61%), Minangkabau (3,18%), Melayu (1,62%), Bugis (0,59%), Madura(0,57%), Banten (0,25%), dan Banjar (0,1%). Jumlah penduduk dan
komposisi etnis di Jakarta, selalu berubah dari tahun ke tahun. Berdasarkan
sensus penduduk tahun 2000, tercatat bahwa setidaknya terdapat tujuh etnis
besar yang mendiami Jakarta. Suku Jawa merupakan etnis terbesar
dengan populasi 35,16% penduduk kota. Etnis Betawi berjumlah 27,65% dari
penduduk kota. Pembangunan Jakarta yang cukup pesat sejak awal tahun 1970-an,
telah banyak menggusur perkampungan etnis Betawi ke pinggiran kota. Pada tahun
1961, orang Betawi masih membentuk persentase terbesar di wilayah pinggiran
seperti Cengkareng, Kebon Jeruk, Pasar
Minggu, dan Pulo Gadung
Jumlah
orang Jawa banyak di Jakarta karena ketimpangan pembangunan antara daerah dan
Jakarta. Sehingga orang Jawa mencari pekerjaan di Jakarta. Hal ini memunculkan
tradisi mudik setiap tahun saat
menjelang Lebaran yaitu orang daerah di Jakarta
pulang secara bersamaan ke daerah asalnya. Jumlah mudik lebaran yang terbesar dari Jakarta
adalah menuju Jawa Tengah.
Secara rinci prediksi jumlah pemudik tahun 2104 ke Jawa Tengah mencapai
7.893.681 orang. Dari jumlah itu didasarkan beberapa kategori, yakni 2.023.451
orang pemudik sepeda motor, 2.136.138 orang naik mobil, 3.426.702 orang naik bus,
192.219 orang naik kereta api, 26.836 orang naik kapal laut, dan 88.335 orang
naik pesawat. Bahkan menurut data Kementerian
Perhubungan Indonesia menunjukkan tujuan pemudik dari Jakarta
adalah 61% Jateng, 39% Jatim dan 10% daerah lain. Ditinjau dari profesinya, 28%
pemudik adalah karyawan swasta, 27% wiraswasta, 17% PNS/TNI/POLRI, 10%
pelajar/mahasiswa, 9% ibu rumah tangga dan 9% profesi lainnya. Diperinci
menurut pendapatan pemudik, 44% berpendapatan Rp. 3-5 Juta, 42% berpendapatan
Rp. 1-3 Juta, 10% berpendapatan Rp. 5-10 Juta, 3% berpendapatan dibawah Rp. 1
Juta dan 1% berpendapatan di atas Rp. 10 Juta.
Orang Tionghoa telah hadir di Jakarta sejak
abad ke-17. Mereka biasa tinggal mengelompok di daerah-daerah permukiman yang
dikenal dengan istilah Pecinan. Pecinan atau
Kampung Cina dapat dijumpai di Glodok, Pinangsia,
dan Jatinegara, selain perumahan-perumahan baru
di wilayah Kelapa
Gading, Pluit,
dan Sunter.
Orang Tionghoa banyak yang berprofesi sebagai pengusaha atau pedagang.
Disamping etnis Tionghoa, etnis Minangkabau juga banyak yang
berdagang, di antaranya perdagangan grosir dan eceran di pasar-pasar
tradisional kota Jakarta. Masyarakat dari Indonesia Timur, terutama etnis
Bugis, Makassar, dan Ambon, terkonsentrasi di wilayah Tanjung
Priok. Di wilayah ini pula, masih banyak terdapat masyarakat
keturunan Portugis, serta orang-orang yang berasal
dari Luzon, Filipina.
Kebudayaan
Budaya
Jakarta merupakan budaya mestizo, atau sebuah
campuran budaya dari beragam etnis. Sejak zaman Belanda, Jakarta merupakan ibu
kota Indonesia yang menarik pendatang dari dalam dan luar Nusantara. Suku-suku
yang mendiami Jakarta antara lain, Jawa, Sunda, Minang, Batak, dan Bugis. Selain dari penduduk Nusantara,
budaya Jakarta juga banyak menyerap dari budaya luar, seperti budaya Arab, Tiongkok, India,
dan Portugis. Jakarta merupakan daerah tujuan
urbanisasi berbagai ras di dunia dan berbagai suku bangsa di Indonesia, untuk
itu diperlukan bahasa komunikasi yang biasa digunakan dalam perdagangan
yaitu Bahasa Melayu.
Penduduk asli yang berbahasa Sunda pun akhirnya menggunakan bahasa Melayu
tersebut.
Walau
demikian, masih banyak nama daerah dan nama sungai yang masih tetap
dipertahankan dalam bahasa Sunda seperti
kata Ancol, Pancoran, Cilandak, Ciliwung, Cideng, dan lain-lain yang masih
sesuai dengan penamaan yang digambarkan dalam naskah kuno Bujangga Manik yang saat ini disimpan
di perpustakaan Bodleian, Oxford, Inggris. Meskipun bahasa formal yang
digunakan di Jakarta adalah Bahasa Indonesia, bahasa informal atau
bahasa percakapan sehari-hari adalah Bahasa Melayu dialek Betawi. Untuk penduduk
asli di Kampung Jatinegara Kaum, mereka masih kukuh menggunakan bahasa leluhur
mereka yaitu bahasa Sunda.
Bahasa daerah juga digunakan oleh para
penduduk yang berasal dari daerah lain, seperti Jawa, Sunda, Minang, Batak, Madura, Bugis, Inggris dan Tionghoa. Hal demikian terjadi karena
Jakarta adalah tempat berbagai suku bangsa bertemu. Untuk berkomunikasi antar
berbagai suku bangsa, digunakan Bahasa Indonesia. Selain itu, muncul juga bahasa gaul yang tumbuh di kalangan
anak muda dengan kata-kata yang kadang-kadang dicampur dengan bahasa
asing. Bahasa Inggris merupakan
bahasa asing yang paling banyak digunakan, terutama untuk kepentingan
diplomatik, pendidikan, dan bisnis. Bahasa Mandarin juga menjadi bahasa
asing yang banyak digunakan, terutama di kalangan pebisnis Tionghoa.
Suku Betawi
Pada
zaman kolonial Belanda tahun 1930, kategori orang
Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada justru muncul sebagai kategori baru
dalam data sensus tahun tersebut. Jumlah orang Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan
menjadi mayoritas penduduk Batavia waktu itu.
Namun menurut Uka Tjandarasasmita penduduk asli Jakarta telah ada sejak
3500-3000 tahun sebelum masehi. Antropolog Universitas Indonesia
lainnya, Prof Dr Parsudi Suparlan menyatakan,
kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu juga
belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut diri
berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen,
atau orangRawabelong.
Pengakuan
terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan
sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda, baru muncul pada
tahun 1923, saat Husni Thamrin, tokoh masyarakat Betawi
mendirikan Pemoeda Kaoem
Betawi. Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka
merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi.
Dr. Yasmine Zaki
Shahab, M.A. berpendapat bahwa hingga beberapa waktu yang lalu
penduduk asli Jakarta mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Melayu atau menurut lokasi tempat tinggal mereka,
seperti orang Kwintang; orang Kemayoran; orang Tanahabang dan seterusnya.
Setelah tahun 1970-an yang merupakan titik balik kebangkitan kebetawian di
Jakarta telah terjadi pergeseran lebel dari Melayu ke Betawi. Orang yang dulu
menyebut kelompoknya sebagai Melayu telah menyebut dirinya sebagai orang
Betawi.
Ada
juga yang berpendapat bahwa orang Betawi tidak hanya mencakup masyarakat
campuran dalam benteng Batavia yang dibangun oleh Belanda tapi juga mencakup
penduduk di luar benteng tersebut yang disebut masyarakat proto Betawi.
Penduduk lokal di luar benteng Batavia tersebut sudah menggunakan bahasa Melayu yang umum digunakan
di Sumatera, Kalimantan, Semenanjung Malaka, Brunei dan Thailand Selatan yang kemudian
dijadikan sebagai bahasa Indonesia.
Seni dan Kebudayaan
Seni
dan Budaya asli Penduduk Jakarta atau Betawi dapat dilihat dari temuan
arkeologis, semisal giwang-giwang yang ditemukan dalam penggalian di Babelan,
Kabupaten Bekasi yang berasal dari abad ke 11 masehi. Selain itu budaya Betawi
juga terjadi dari proses campuran budaya antara suku asli dengan dari beragam
etnis pendatang atau yang biasa dikenal dengan istilah Mestizo . Sejak zaman dahulu, wilayah
bekas kerajaan Salakanagara atau kemudian dikenal dengan "Kalapa"
(sekarang Jakarta) merupakan wilayah yang menarik
pendatang dari dalam dan luar Nusantara, Percampuran budaya juga datang pada
masa Kepemimpinan Raja Pajajaran, Prabu Surawisesa dimana Prabu Surawisesa
mengadakan perjanjian dengan Portugal dan dari hasil percampuran budaya antara
Penduduk asli dan Portugal inilah lahir Keroncong Tugu. Suku-suku yang mendiami
Jakarta sekarang antara lain, Jawa, Sunda, Melayu, Minang, Batak, dan Bugis. Selain dari penduduk Nusantara,
budaya Betawi juga banyak menyerap dari budaya luar, seperti budaya Arab, Tiongkok, India,
dan Portugis.
Suku
Betawi sebagai penduduk asli Jakarta agak tersingkirkan oleh penduduk
pendatang. Mereka keluar dari Jakarta dan pindah ke wilayah-wilayah yang ada di
provinsi Jawa Barat dan
provinsi Banten. Budaya Betawi pun tersingkirkan
oleh budaya lain baik dari Indonesia maupun budaya barat. Untuk melestarikan
budaya Betawi, didirikanlah cagar budaya di Situ Babakan.
-
Bahasa
Sifat
campur-aduk dalam bahasa Betawi atau Melayu Dialek Jakarta atau Melayu Batavia
adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil dari
asimilasi kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara
maupun kebudayaan asing.
Ada
juga yang berpendapat bahwa suku bangsa yang mendiami daerah sekitar
"Kalapa" (sekarang Jakarta) juga
dikelompokkan sebagai suku Betawi awal (proto Betawi). Menurut sejarah,
Kerajaan Tarumanagara, yang berpusat di Sundapura, pernah diserang dan
ditaklukkan oleh kerajaan Sriwijaya dari Sumatera. Oleh karena itu, tidak heran
kalau penduduk asli Betawi yang pada awalnya berbahasa Kawi dan mendiami daerah
sekitar pelabuhan Sunda Kalapa (jauh sebelum Sumpah Pemuda) sudah menggunakanbahasa Melayu, bahkan ada juga yang
mengatakan suku lainnya semisal suku Sunda yang mendiami wilayah inipun juga
ikut menggunakan Bahasa Melayu yang umum digunakan di Sumatera dan Kalimantan Barat, penggunaan bahasa ini
dikarenakan semakin banyaknya pendatang dari wilayah Melayu lainnya semisal
Kalimantan Barat dikarenakan dianggap abainya Syailendra ketika dimintai tolong
oleh Sriwijaya untuk menjaga wilayah perairan laut sebelah barat Sungai Cimanuk
sebagai hasil Perjanjian Damai Sriwijaya - Kediri yang dimediasi oleh China
yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional.
Karena
perbedaan bahasa yang digunakan antara suku Betawi dengan suku Sunda diwilayah
lainnya tersebut maka pada awal abad ke-20, Belanda menganggap orang yang
tinggal di sekitar Batavia sebagai etnis yang berbeda dengan etnis Sunda dan
menyebutnya sebagai etnis Betawi. Walau demikian,
masih banyak nama daerah dan nama sungai yang masih tetap dipertahankan
dalam bahasa Sunda seperti
kata Ancol, Pancoran, Cilandak, Ciliwung, Cideng (yang berasal dari Cihideung
dan kemudian berubah menjadi Cideung dan tearkhir menjadi Cideng), dan
lain-lain yang masih sesuai dengan penamaan yang digambarkan dalam naskah
kuno Bujangga Manik yang
saat ini disimpan di perpustakaan Bodleian, Oxford, Inggris.
Meskipun
bahasa formal yang digunakan di Jakarta adalah Bahasa Indonesia, bahasa informal atau
bahasa percakapan sehari-hari adalah Bahasa Indonesia dialek Betawi. Dialek Betawi sendiri terbagi atas dua jenis,
yaitu dialek Betawi tengah dan dialek Betawi pinggir. Dialek Betawi tengah
umumnya berbunyi "é" sedangkan dialek Betawi pinggir adalah
"a". Dialek Betawi pusat atau tengah seringkali dianggap sebagai
dialek Betawi sejati, karena berasal dari tempat bermulanya kota Jakarta, yakni
daerah perkampungan Betawi di sekitar Jakarta Kota, Sawah Besar, Tugu,
Cilincing, Kemayoran, Senen, Kramat, hingga batas paling selatan di Meester
(Jatinegara). Dialek Betawi pinggiran mulai dari Jatinegara ke Selatan, Condet,
Jagakarsa, Depok, Rawa Belong, Ciputat hingga ke pinggir selatan hingga Jawa
Barat. Contoh penutur dialek Betawi tengah adalah Benyamin S., Ida Royani dan
Aminah Cendrakasih, karena mereka memang berasal dari daerah Kemayoran dan
Kramat Sentiong. Sedangkan contoh penutur dialek Betawi pinggiran adalah Mandra
dan Pak Tile. Contoh paling jelas adalah saat mereka mengucapkan kenape/kenapa'' (mengapa).
Dialek Betawi tengah jelas menyebutkan "é", sedangkan Betawi pinggir
bernada "a" keras mati seperti "ain" mati dalam cara baca
mengaji Al Quran.
-
Musik
Dalam
bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal dari seni
musik Tionghoa, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab, orkes Samrah berasal dari Melayu, Keroncong
Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab, dan Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an. Saat ini Suku Betawi terkenal
dengan seni Lenong, Gambang Kromong, Rebana Tanjidor dan Keroncong. Betawi juga memiliki lagu
tradisional seperti "Kicir-kicir".
-
Tari
Seni
tari di Jakarta merupakan perpaduan antara unsur-unsur budaya masyarakat yang
ada di dalamnya. Contohnya tari Topeng Betawi, Yapong yang dipengaruhi
tari JaipongSunda, Cokek,
tari silat dan lain-lain. Pada awalnya, seni tari di Jakarta memiliki pengaruh
Sunda dan Tiongkok, seperti tari Yapong dengan kostum penari khas pemain Opera Beijing. Namun Jakarta dapat
dinamakan daerah yang paling dinamis. Selain seni tari lama juga muncul seni
tari dengan gaya dan koreografi yang dinamis.
-
Drama
Drama
tradisional Betawi antara lain Lenong dan Tonil.
Pementasan lakon tradisional ini biasanya menggambarkan kehidupan sehari-hari
rakyat Betawi, dengan diselingi lagu,pantun, lawak, dan lelucon jenaka. Kadang-kadang pemeran
lenong dapat berinteraksi langsung dengan penonton.
-
Cerita rakyat
Cerita
rakyat yang berkembang di Jakarta selain cerita rakyat yang sudah dikenal
seperti Si Pitung, juga dikenal cerita rakyat lain
seperti serial Jagoan Tulen atau
si jampang yang mengisahkan jawara-jawara Betawi baik dalam perjuangan maupun
kehidupannya yang dikenal "keras". Selain mengisahkan jawara atau
pendekar dunia persilatan, juga dikenal cerita Nyai Dasima yang menggambarkan
kehidupan zaman kolonial. cerita lainnya ialah Mirah
dari Marunda, Murtado Macan Kemayoran, Juragan
Boing dan yang lainnya.
-
Senjata
tradisional
Senjata khas Jakarta
adalah bendo atau golok yang
bersarungkan dari kayu.
-
Rumah tradisional
Rumah tradisional/adat
Betawi adalah rumah kebaya
-
Perilaku dan Sifat
Asumsi kebanyakan orang tentang masyarakat
Betawi ini jarang yang berhasil, baik dalam segi ekonomi, pendidikan, dan
teknologi. Padahal tidak sedikit orang Betawi yang berhasil. Beberapa dari
mereka adalah Muhammad Husni Thamrin, Benyamin Sueb, dan Fauzi Bowo Gubernur DKI Jakarta
(2007 - 2012) . Ada beberapa hal yang positif dari Betawi antara lain jiwa
sosial mereka sangat tinggi, walaupun kadang-kadang dalam beberapa hal terlalu
berlebih dan cenderung tendensius. Orang Betawi juga sangat menjaga nilai-nilai
agama yang tercermin dari ajaran orangtua (terutama yang beragama Islam),
kepada anak-anaknya. Masyarakat Betawi sangat menghargai pluralisme. Hal ini
terlihat dengan hubungan yang baik antara masyarakat Betawi dan pendatang dari
luar Jakarta.
Orang Betawi sangat menghormati budaya yang
mereka warisi. Terbukti dari perilaku kebanyakan warga yang mesih memainkan
lakon atau kebudayaan yang diwariskan dari masa ke masa seperti lenong,
ondel-ondel, gambang kromong, dan lain-lain. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa
keberadaan sebagian besar masyarakat Betawi masa kini agak terpinggirkan oleh
modernisasi di lahan lahirnya sendiri (baca: Jakarta). Namun tetap ada
optimisme dari masyarakat Betawi generasi mendatang yang justru akan menopang
modernisasi tersebut.
-
Masakan
Jakarta merupakan kota internasional yang
banyak menyajikan makanan khas dari seluruh dunia. Di wilayah-wilayah yang
banyak didiami oleh para ekspatriat asing, seperti di daerah Menteng, Kemang,
Pondok Indah, dan daerah pusat bisnis Jakarta, tidak sulit untuk menjumpai
makanan-makanan khas asal Eropa, China, Jepang dan Korea. Makanan-makanan ini
biasanya dijual dalam restoran-restoran mewah.
Di Jakarta, dan seperti kota-kota lainnya di
Indonesia, Rumah Makan Padang merupakan restoran yang paling banyak dijumpai. Hampir di
setiap sudut kota, dengan mudahnya dijumpai rumah makan yang manyajikan masakan
asal Minangkabau ini. Selain Masakan Minang, Jakarta
juga memiliki makanan khasnya. Yang paling terkenal adalah Kerak Telor, Soto Betawi, Kue Ape, Roti
Buaya, Combro, dan Nasi Uduk. Sebagai tempat bermukimnya berbagai etnis di
Indonesia, di sini juga bisa ditemukan berbagai macam makanan tradisional dari
daerah lainnya, seperti Rawon, Rujak Cingur,
dan Kupang
Lontong. Di Jakarta juga terdapat Warung Tegal jumlahnya ada lebih dari 34.000 warung
di Jabodetabek.
Masakan khas Betawi antara
lain gabus pucung, laksa betawi. sayur babanci, sayur godog, soto betawi, ayam sampyok, asinan betawi, dan nasi uduk.
-
Kue-kue
Kue-kue khas Betawi misalnya kue cucur, kue rangi, kue talam, kue kelen, kue kembang goyang, kerak telor, sengkulun, putu mayang, andepite, kue ape, kue cente manis, kue pepe, kue dongkal, kue geplak, dodol betawi,
dan roti buaya.
-
Minuman
Minuman Khas Betawi contohnya
adalah es selendang mayang, es goyang, dan bir pletok.Sumber :
0 komentar:
Posting Komentar