Akhir-akhir ini banyak
sekali permasalahan yang dihadapi bangsa, mulai dari konflik sosial, politik,
ekonomi dan seringkali bergeser menjadi konflik agama. Konflik-konflik tersebut
merupakan potensi ancaman terhadap persatuan dan kesatuan bangsa. Lalu
bagaimana kaitanya dengan wawasan kebangsaan. Misalnya, hasil penelitian Pusat
Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta beberapa tahun
lalu,menyebutkan, masyarakat Indonesia bisa dikatakan kurang toleran. Sebagaian
besar masyarakat Indonesia bisa dikatakan kurang toleran terbukti 67% masyarakat
menyatakan kebencian karenanya kurang bersedia hidup berdampingan dengan
kelompok sosial-politik dan keagamaan lainya. Begitu pula, 29 % menyatakan
selalu percaya pada orang lain, sedangkan mayoritas menyatakan, setiap orang
harus berhati-hati terhadap orang lain, jangan mudah percaya (86%). Adapun
ciri-ciri dari kemajemukan masyarakat Indonesia adalah : (1) Indonesia adalah
negara dengan populasi Islam terbesar di dunia. (2) Indonesia mengakui 6 agama.
(3) Indonesia mempunyai ratusan suku. (4) Indonesia bukan hanya Pulau Jawa,
Indonesia adalah kepulauan terbesar di dunia.
Kerukunan dibagi dalam
2 istilah. Pertama, demografis dan fakta sosiologis. Pengertianya
adalah kenyataan sosial adanya kelompok yang tinggal menetap bersama disebuah
negara. Kedua,ideologi dan konsep normatif tentang cara hidup (way
of life). Dimana sebuah tatanan sosial ideal berupa lambang dari prinsip
keadilan sosial yang mengemukakan tentang hak-hak, nilai, dan kesetaraan
kelompok. Sedangkan pengertian kerukunan itu sendiri adalah keadaan dimana
hubungan sesama umat beragamayang diandasi toleransi, saling pengertian, saling
menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengalaman ajaran agamanya dan
kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara didalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang (UUD) tahun 1945.
Filosifi kerukunan antar umat meliputi; rasa tanggung jawab pada semua orang, respec (sikap
hormat) pada setiap orang, bersikap adil pada siapapun dan memberi manfaat bagi
orang lain. Sedangkan tujuan kerukunan itu sendiri meliputi berbagai hal
diantaranya; sebagai perekat sosial (social cohesion),
Identitas kultural (cultural identity), persamaan kesempatan
dan akses, rasa tanggung jawab, komitmen dan partisipasi dalam berbangsa dan
bernegara. Masalah-masalah kerukunan antar umat beragama di Indonesia yaitu,
belum adanya hubungan antara pemerintah nasional dengan komunitas etnik,
konflik etnik bermuara pada konflik etnik lokal dengan etnik pendatang. Juga
adanya persaingan sumber-sumber ekonomi, kekuasaan (politik), sosial budaya.
Dan akhirnya persoalan ekonomi bergeser menjadi konflik agama.
Revitalisasi Semangat
Pancasila Sekarang ini, Tunggal Ika lebih dipentingkan dari pada bhineka,
artinya persamaan lebih sering dibahas daripada perbedaan-perbedaan. Hal itu
justru akan memunculkan persatuan semu (pseudo-unity). Sehingga
perlu penataan ulang pengelolaan keragaman budaya (managin cultural
diversity) untuk mencegah disintegrasi. Paham kerukunan sama sekali
tidak bertentangan dengan ajaran Al-Quran dan sunah. Bahkan semua unsur
melahirkan paham tersebut, inklusif dalam ajaran Al-Quran, sehingga seorang
muslim yang baik pastilah seorang anggota suatu bangsa yang baik. Kalau anggota
suatu bangsa terdiri dari beragam agama atau anggota masyarakat terdiri dari
berbagai bangsa hendaknya mereka dapat menghayati firman-Nya dalam surat
Al-Baqarah ayat 148: “Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblat (arah yang ditujunya),
dia mengadap kearah itu. Maka berlomba-lombalah kamu (melakukan) kebaikan.
Dimana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian.
Sesungguhnya Allah Maha kuasa atas segala sesuatu.
Filsafat adalah
pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang yang merupakan konsep dasar
mengenai kehidupan yang dicita-citakan. Filsafat juga diartikan sebagai suatu
sikap seseorang yang sadar dan dewasa dalam memikirkan segala sesuatu secara
mendalam dan ingin melihat dari segi yang luas dan menyeluruh dengan segala
hubungan.
Nasroen (1968, dalam
Harafah 2008 : 69) mengemukakan bahwa filsafat yang sejati haruslah berdasarkan
pada agama. Apabila filsafat tidak berdasarkan pada agama dan filsafat hanya
semata-mata berdasarkan atas akal pikiran saja, maka filsafat tersebut tidak
akan memuat kebenaran obyektif, karena yang memberikan penerangan dan putusan
adalah akal pikiran.
Kesanggupan akal
pikiran terbatas sehingga filsafat yang hanya berdasarkan atas akal pikiran
semata-mata akan tidak sanggup member kepuasan bagi manusia, terutama dalam
rangka pemahamannya terhadap yang gaib. (Harafah, 2008 : 69)
Indonesia yang
bersifat majemuk, baik dari segi agama, etnis, bahasa, budaya, maupun adat
istiadat membutuhkan perekat yang kuat agar tidak terancam disintegrasi.
Kekuatan perekat itu diletakan atas dasar kerukunan umat beragama sehingga
toleransi antar umat beragama menjadi hal yang sangat penting dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
1.1 Perkembangan
Agama
Agama adalah suatu
unsure mengenai pengalaman yang dipandang mempunyai nilai tertinggi, pengabdian
terhadap suatu kekuasaan yang dipercaya sebagai sesuatu yang menjadi asal mula
yang menambah dan melestarikan nilai-nilai ini dan sejumlah ungkapan yang
sesuai tentang urusan serta pengabdian tersebut, baik dengan jalan melakukan
upacara yang simbolis maupun melalui perbuatan lain yang bersifat perseorangan
ataupun kemasyarakatan.
Jika umat manusia
dengan agamanya, kemudian mengembangkannya, itu sudah menjadi fitrah manusia.
Sebab semua orang beragama merasa wajib untuk mengembangkan dan menyampaikan
keyakinannya kepada siapapun di dunia ini. Di sinilah letaknya sebuah
toleransi, siapapun umat beragama bebas untuk mendakwahkan agamanya dan
siapapun manusia bebas menerima maupun menolak ajakan itu. Rambu-rambu untuk
itu dalam tatanan hidup antarbangsa dan agama telah dimiliki oleh umat dan
bangsa sedunia. Sikap toleran akan dapat meminimalkan segala konsekuensi
negatif penyebaran agama.
Sesuatu yang menjadi
sangat penting dan terpenting adalah tertanamnya suatu sikap bagi seluruh umat
beragama, bahwa tujuan dasar beragama adalah tercapainya kebahagiaan
(kedamaian) dunia maupun dalam kehidupan setelah dunia, kiranya sesuatu yang
sangat esensial ini tidak ternodai oleh perselisihan justru atas nama
kesejahteraan dunia akhirat tersebut, hal yang sangat ironis jika hal itu
justru yang dikedepankan dalam sikap hidup umat beragama. Sekali lagi sikap
toleransi yang dapat mengatasinya.
Kita coba membaca
perkembangan umat manusia dengan keagamaannya dewasa ini. Dari data yang dapat
dikumpulkan dari “Ensiklopedi Britannica” tahun 2001, tercatat bahwa penduduk
dunia yang tersebar di dalam 238 negara di lima benua dan Oceania berjumlah
6.128.512.000 orang. Dari sejumlah ini, pemeluk Agama Kristen (Katolik,
Protestan, Ortodoks, Anglikan, Independen, Kristen Marginal dan Kristen yang
tidak berafiliasi) berjumlah 2.019.052.000 orang = 32,9% yang tersebar di
seluruh negara dunia (238 negara). Muslim, 1.207.148.000 orang (belum termasuk
mereka yang pernah menjadi penduduk di bawah pengawasan komunis Uni Soviet
Rusia) = 19,7%, terdiri dari 83% Sunni dan 16 % Syi’i serta 1% lain-lain,
tersebar di 204 negara di seluruh dunia.
Hindu, 819.689.000 =
13,4 %, tersebar di 114 negara di dunia. Tidak beragama 771.345.000 orang,
tersebar di 236 negara dunia = 12,6%. Agama Rakyat Cina, 387.167.000 orang =
6,3 %, tersebar di 99 negara dunia. Buddhists, 361.985.000 orang = 5,9% yang
tersebar di 126 negara. Atheist, 150.252.000 orang = 2,5% tersebar di 161
negara. Sedangkan Jews (Yahudi) 14.484.000 orang = 0,2%, tersebar di 134
negara.
Dari catatan
perkembangan agama-agama dunia yang ada pada abad ini, agama samawi menduduki
tempat teratas, baik Kristen maupun Islam, sedangkan Yahudi persentasenya di
bawah 1 %, dan agama-agama ardli menduduki posisi 3 besar dunia. Namun
orang-orang yang tidak beragama dan atheis justru lebih besar jumlahnya jika
dibandingkan dengan agama Hindu = 15,1 %.
1.2 Toleransi Sebagai
Akidah Dalam Beragama
Pengakuan
adanya kekuatan Yang Maha Tinggi, yaitu Tuhan, Allah, God, Yahweh, Elohim, yang
disertai ketundukan itu, merupakan fitrah (naluri) yang dimiliki oleh setiap
manusia. Kendati demikian, manusia tetap memerlukan adanya pemberi peringatan
agar tidak menyeleweng dari fitrahnya, mereka adalah para nabi dan rasul.
Perasaan tunduk kepada
Yang Maha Tinggi, yang disebut iman, atau itikad, yang kemudian berdampak pada
adanya rasa suka(rughbah), takut (ruhbah), hormat (ta’dzim) dan
lain-lain, itulah unsur dasar al-din (agama). Al-din (agama) adalah
aturan-aturan atau tata-cara hidup manusia yang dipercayainya bersumber dari
Yang Maha Kuasa untuk kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Berbagai agama telah
lahir di dunia ini dan membentuk suatu syariat (aturan) yang mengatur kehidupan
manusia, yang termaktub di dalam kitab-kitab suci, baik agama samawi (yang
bersumber dari wahyu Ilahi) maupun yang terdapat dalam agama ardli (budaya)
yang bersumber dari pemikiran manusia. Semua agama-agama, baik samawi maupun
ardli, memiliki fungsi dalam kehidupan manusia. Berbagai fungsi tersebut
adalah: Pertama, menunjukkan manusia kepada kebenaran sejati; Kedua, menunjukkan
manusia kepada kebahagiaan hakiki. Ketiga, mengatur kehidupan
manusia dalam kehidupan bersama.
Dari hakikat dan
fungsi agama seperti yang disebutkan itu, maka pemeluk agama-agama yang ada di
dunia ini, telah memiliki strategi, metode dan teknik pelaksanaannya
masing-masing, yang sudah barang tentu dan sangat boleh jadi terdapat berbagai
perbedaan antara satu dengan lainnya. Karenanya, umat manusia dalam menjalankan
agamanya, sang Pencipta agama telah berpesan dengan sangat, “Kiranya umat
manusia tidak terjebak dalam perpecahan tatkala menjalankan agama
masing-masing, apalagi perpecahan itu justru bermotivasikan keagamaan”
Pengamalan toleransi
harus menjadi suatu kesadaran pribadi dan kelompok yang selalu
dihabitualisasikan dalam wujud interaksi sosial. Toleran maknanya, bersifat
atau bersikap menghargai, membiarkan pendirian, pendapat pandangan,
kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan lain-lain yang berbeda atau bertentangan
dengan pendirian sendiri.
Toleransi/toleran
dalam pengertian seperti itu terkadang menjadi sesuatu yang sangat berat bagi
pribadi-pribadi yang belum menyadarinya. Padahal perkara tersebut bukan mengakibatkan
kerugian pribadi, bahkan sebaliknya akan membawa makna besar dalam kehidupan
bersama dalam segala bidang, apalagi dalam domain kehidupan beragama. Toleran
dalam kehidupan beragama menjadi sangat mutlak adanya, dengan eksisnya berbagai
agama samawi maupun agama ardli dalam kehidupan umat manusia ini.
Dalam kaitan ini Tuhan
telah mengingatkan kepada umat manusia dengan pesan yang bersifat universal,
dalam Q.S. 42 A. 13: “Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama, apa yang
telah diwasiatkan kepada Nuh, dan apa yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad)
dan apa yang telah diwahyukan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa yaitu: Tegakkanlah
agama dan janganlah kamu berpecah-belah dalam urusan agama.” Pesan lainnya
terkandung dalam Q.S. 3 A. 103: “Dan berpegang teguhlah kamu kepada agama Allah
dan janganlah kamu bercerai-berai.”
Pesan universal ini
merupakan pesan kepada segenap umat manusia tidak terkecuali, yang intinya
dalam menjalankan agama harus menjauhi perpecahan antarumat beragama maupun
sesama umat beragama. Pesan dari langit ini menghendaki umat manusia itu
memeluk dan menegakkan agama, karena Tuhan sang Pencipta alam semesta ini telah
menciptakan agama-agama untuk umat manusia, kehendak-Nya hanyalah jangan
berpecah-belah dalam beragama maupun atas nama agama.
Tegakkanlah agama dan
jangan berpecah belah dalam beragama, merupakan standar normatif Ilahiyah,
sebagai patokan baku untuk pembimbingan perilaku umat manusia dalam beragama.
Standar yang bersifat universalistik ini bermakna ruang lingkupnya berlaku di
mana pun dan kapan pun. Yakni umat beragama dalam berinteraksi antar agama
wajib mengutamakan standar universal ini. Tegakkan agama dan jangan berpecah
belah dalam beragama. Perintah ini juga merupakan standar yang bersifat
partikularistik, yang ruang lingkupnya berlaku bagi kelompok pemeluk agama
tertentu di tempat mereka berada. Dalam menjalankan agama hendaknya menjauhi
perpecahan sesama agama, terlebih perpecahan itu dibungkus oleh orientasi
motivasional maupun orientasi nilai keagamaan.
Tindakan manusia
beragama itu selalu memiliki orientasi, berarti selalu diarahkan kepada tujuan.
Ada dua elemen penting dalam orientasi tindakan manusia termasuk tindakan
manusia dalam beragama yaitu orientasi motivasional dan orientasi nilai.
Orientasi motivasional adalah yang berhubungan dengan keinginan individu yang
bertindak itu untuk memperbesar kepuasan dan mengurangi kekecewaan, atau dalam
makna lain, motivasi untuk memperbesar kepuasan jangka panjang dan jangka
pendek.
Sedangkan elemen
lainnya adalah orientasi nilai. Orientasi ini menunjuk kepada standar-standar
normatif yang mempengaruhi dan mengendalikan pilihan-pilihan individu terhadap
tujuan yang dicapai dan alat yang dipergunakan untuk mencapai tujuan itu. Walhasil,
kebebasan individu dalam bertindak, dibatasi oleh standar-standar normatif yang
ada dalam masyarakat, baik yang bersifat Ilahiyah maupun budaya. Segala
norma-norma itu bukan berarti mengeliminir kebebasan manusia dalam beragama,
justru menawarkan berbagai alternatif dalam bertindak, bermakna juga bahwa
manusia itu dalam beragama mempunyai kebebasan penuh yang dibatasi oleh
kebebasan yang dimiliki orang selainnya.
Umat beragama dalam
interaksi sosialnya mempunyai kebebasan dalam meningkatkan kualitas dan
kuantitas pemeluknya. Interaksi seperti ini sudah barang pasti berkonsekuensi,
minimal saling singgung. Sebab strategi, metoda dan teknik interaksi
masing-masing agama dan para pemeluknya bahkan dalam kalangan suatu agama dan
para pemeluknya, sangat mungkin terjadi perbedaan baik secara prinsip maupun
nonprinsip. Ini bermakna, dapat kita lihat bahwa individu-individu itu dalam
beragama memungkinkan dapat menggunakan agama sebagai kekuatan yang
mempersatukan dan sebaliknya juga dapat menggunakannya sebagai
pencerai-beraian, yang mengakibatkan timbulnya konflik.
1.3 Toleransi
Sebagai Nilai dan Norma
Toleransi dalam
pengertian yang telah disampaikan, yang merupakan keyakinan pokok (akidah) dalam
beragama, dapat kita jadikan sebagai nilai dan norma. Kita katakan sebagai
nilai karena toleransi merupakan gambaran mengenai apa yang kita inginkan, yang
pantas, yang berharga, yang dapat mempengaruhi perilaku sosial dari orang yang
memiliki nilai itu. Dan nilai (toleransi) akan sangat mempengaruhi kebudayaan
dan masyarakat. Demikian juga toleransi, dapat kita jadikan suatu norma, yaitu
suatu patokan perilaku dalam suatu kelompok tertentu. Norma memungkinkan
seseorang menentukan terlebih dahulu bagaimana tindakannya itu akan dinilai
orang lain untuk mendukung atau menolak perilaku seseorang.
Karena toleransi
sudah kita jadikan nilai dan norma, dan juga menyangkut sifat dan sikap untuk
menghargai pendirian, pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan dan kelakuan,
dan lain-lain yang berbeda bahkan bertentangan dengan pendirian sendiri, maka
sifat dan sikap sebagai nilai dan norma itu mesti disosialisasikan. Maknanya,
ialah proses memelajari norma, nilai, peran, dan semua persyaratan lainnya yang
diperlukan untuk memungkinkan partisipasi yang efektif dalam kehidupan sosial.
Sifat dan sikap
toleran ini perlu disosialisasikan, agar setiap individu mampu mengamalkan
dalam kehidupan nyata di masyarakat luas. Dalam lingkungan keluarga, kehidupan
yang toleran harus disosialisasikan sejak dini terhadap anggota keluarga
(anak-anak). Dan inilah yang menjadi sosialisasi dasar dalam kehidupan umat
manusia, yang dari padanya dikembangkan sosialisasi lebih lanjut sebagai follow-up.
Berinteraksi dengan
jiwa toleran dalam setiap bentuk aktivitas, tidak harus membuang prinsip hidup
(beragama) yang kita yakini. Kehidupan yang toleran justru akan menguatkan
prinsip hidup (keagamaan) yang kita yakini. Segalanya menjadi jelas dan tegas
tatkala kita meletakkan sikap mengerti dan memahami terhadap apapun yang nyata
berbeda dengan prinsip yang kita yakini. Kita bebas dengan keyakinan kita,
sedangkan pihak yang berbeda (yang memusuhi sekalipun) kita bebaskan terhadap
sikap dan keyakinannya.
Dialog disertai
deklarasi tegas dan sikap toleran telah dicontohkan oleh Rasulullah dalam Q.S.
109: “Wahai orang yang berbeda prinsip (yang menentang). Aku tidak akan
mengabdi kepada apa yang menjadi pengabdianmu. Dan kamu juga tidak harus
mengabdi kepada apa yang menjadi pengabdianku. Dan sekali-kali aku tidak akan
menjadi pengabdi pengabdianmu. Juga kamu tidak mungkin mengabdi di
pengabdianku. Agamamu untukmu. Dan agamaku untukku.”
Prinsip yang telah
dibela oleh Rasulullah sangat jelas, dengan sentuhan deklarasi yang tegas.
Sedangkan prinsip yang harus dipegang oleh mereka yang berbeda (penentangnya)
juga dijelaskan dengan tegas. Namun diiringi dengan sikap toleransi yang sangat
tinggi: Kamu pada prinsipmu dan aku pada prinsipku. Yakni sepakat untuk
berbeda. Sikap tegas penuh toleran, tanpa meninggalkan prinsip seperti itu
dilaksanakan pada saat masyarakat lingkungannya tampil dengan budaya represif,
yang sistem sosialnya dalam proses tidak menghendaki perubahan, bertahan dengan
struktur yang ada(morfostatis). Sedangkan Nabi Muhammad saw sedang
memulai pembentukan kelompok (formation group) menuju
perubahan. Ternyata sikap toleran sangat menentukan proses terjadinya bentuk
serta perubahan atau perkembangan suatu sistem maupun struktural atau
penyederhanaannya (morfogenesis).
Sikap toleran
membuahkan kemampuan yang sangat signifikan dalam menetapkan pilihan yang
terbaik. Mampu mendengar berbagai ungkapan dan menyaring yang terbaik daripada
semua itu. Sikap toleran juga melahirkan kemampuan mengubah perilaku individu (self
correction) terhadap pola yang selama itu dilakukan, yang tak berdaya
mengubah masyarakat tradisional, tertutup dan represif, sehingga tujuan yang
dicita-citakan dapat dicapai. Toleran, tidak menciptakan individu yang
wangkeng, yang tidak mau mengubah perilakunya, walau tujuannya tidak tercapai.
Secara apologi bersikap dan mengatakan bahwa: Tujuan itu tidak tercapai karena
belum waktunya, atau nasibnya memang demikian dan tidak mau mengubah diri.
Sikap toleran, mampu
menemukan jalan keluar dan problem solving yang pantas dan
mengangkat martabat dan harga diri dalam berbagai bidang kehidupan. Dengan
sikap toleran, Rasulullah bermigrasi (hijrah) meninggalkan
kehidupan dan tatanan sosial tradisional represif yang belum mampu diubahnya
menuju kepada tempat dan kelompok masyarakat yang telah dipersiapkannya untuk
dapat menerima perubahan dan bahkan menjadikannya sebagai agen perubahan di
zamannya serta zaman selanjutnya. Bersama kelompoknya kemudian berinteraksi
membaur ke dalam berbagai kelompok dalam masyarakat yang majemuk baik ras
maupun agama. Interaksi yang sedemikian itu mampu menciptakan kehidupan yang
saling membutuhkan dan saling memerlukan, dalam bentuknya yang saling
bertanggung jawab dalam membela masyarakatnya.
Sumber:
0 komentar:
Posting Komentar